Senin, 08 Desember 2014

WACANA INCEST ¹
DALAM MITOLOGI YUNANI “OEDIPUS”, MITOLOGI SUNDA “SANGKURIANG”,
DAN MITOLOGI MASYARAKAT JAWA-BALI  “PRABU WATUGUNUNG

Oleh :
Luh Yesi Candrika,S.S.


A.    Pengantar

Topik makalah ini ialah sebagai kajian awal atas keberadaan mitos Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu Watugunung. Pengamatan terhadap ketiga teks merupakan interpretasi naratif  atas norma-norma dalam kehidupan masyarakat mengenai perilaku Incest. Perilaku Incest dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia berkenaan dengan norma-norma yang ada. Cerita yang mengisahkan tentang Incest ditemukan di seluruh dunia, di dalam mitos awal dari hampir semua suku bangsa ². Versi yang disampaikan bermacam-macam, tergantung dari kehidupan sosial masyarakatnya yang menjadi peletakan dasar dari suatu peradaban. Maka Incest selalu bersentuhan dengan fenomena masyarakat dan kehidupannya. Fenomena tersebut seringkali tergambarkan dalam cerita rakyat yang dijadikan sebagai tuntunan dalam berperilaku oleh manusia. Sebagai bagain dari folklor³, cerita rakyat adalah alat yang dirasa ampuh untuk mengarahkan dan mendidik masyarakatnya. Dalam hal ini misalnya, untuk menghindari terjadi Incest dalam kehidupan masyarakat.
Mengenai Incest termuat dalam ketiga teks dari wilayah yang berbeda, dengan peradaban dunia yang berbeda, yakni di dalam mitologi Yunani, yaitu dalam kisah Oedipus, mitologi Sunda, dalam kisah Sangkuriang, dan mitologi masyarakat Jawa-Bali dalam kisah Prabu Watugunung. Peristiwa Incest, menunjukkan peristiwa sosio-antropologis, yang mengutamakan hubungan biologis.
¹ Incest merupakan (Inses, Inggris: Incest) adalah hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri
²  Pernyataan  tersebut di atas, dikutip dari makalah  Jean Couteau yang dipresentasikan pada acara Rembug Sastra Purnama Bhadrawada di Pura Jagatnatha, Denpasar 15 Maret 2014.
³ Folklor merupakan (Folk, kolektif yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama. Lore, adalah sebagian dari kebudayaannya , yang diwariskan turun-temurun secara lisan, atau melalui contoh gerak isyarat atau alat pembantu pengingat) adalah sebagaian kebudayaan suatu kolektif  yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun,  lihat James Danandjaja.”Folklor Indonesia :Ilmu Gosip, Dongeng, dll”. 1984. Jakarta.

Pada mitologis yang mengisahkan asmara antara seorang ayah dengan putrinya, atau sebaliknya, yakni seorang ibu yang menikahi putrinya adalah sebuah ketidak wajaran. Dalam konteks seksualitas, menjalin hubungan asmara hubungan sedarah tersebut tidak ada bedanya dengan perilaku binatang. Pada peradaban masyarakat terdahulu yang belum mengenal tatanan sosial, maka peristiwa ini dimungkinkan terjadi.
Keberadaan mitologi Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu Watugunung menunjukkan peristiwa tatanan masyarakat yang belum tertata, dengan keberadaan lembaga keluarga yang belum tersusun kuat dalam suatu wilayah. Perilaku menyimpang ini terdapat pada ketiga teks yang memiliki pertalian kuat dan menunjukkan kehidupan seksual para tokoh yang tidak teratur. Dalam ketiga teks yang menunjukkan perilaku Incest, berawal dari ketidaksengajaan dan ketidaktahuan identitas anatar tokoh. Yang mengalami perilaku ini pada ketiga teks, yakni anatara seorang Ibu dengan putra kandungnya. Secara garis besar, ketiga mitos ini memiliki kemiripan dari struktur narasinya, terutama pada bagian kisah cinta antara tokoh Ibu dengan putra kandungnya.
Pengamatan terhadap ketiga teks cerita tidak hanya pada struktur narasi saja. Mitos yang bersifat universal dan menunjukkan hubungan atau keterjalinan antara cerita yang satu dengan yang lainnya, maka sangat memungkinkan adanya bagian-bagian yang sama. Namun, dengan melihat hubungan dan keterjalinan ini, juga membantu menunjukkan asas-asas cultural masyarakat yang digambarkan dalam cerita amat berbeda. Utamanya mitologi Oedipus dengan kisah Prabu Watugunung yang kental menunjukkan tempat sastra itu lahir. Budaya ke timuran dalam kisah kisah Watugunung mengggambarkan mengenai spiritual-magis yang berorientasi pada keseimbangan lingkungan atau kosmis. Demikian pula dengan kisah Sangkuriang dalam konteks sastra daerah Nusantara. Pada mitologi Yunani, yakni Oedipus tergambarkan tokoh yang bebas, tetapi berkaitan pula dengan lingkungan.
Kajian ketiga teks menarik dilakukan, mengingat perkembangan sebuah mitologi yang keberadaan sudah cukup lama dalam tradisi dan kehidupan suatu masyarakat yang berbeda dan mendiami suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, Pengamatan terhadap hubungan atau ketrerjalinan ketiga teks menjadi perhatian utama dalam kajian intertekstual.

Mitologi Yunanai “Oedipus”
            Cerita dalam mitologi Yunani, yakni Oedipus merupakan cerita mistis yang berasal dari zaman Yunani Purba kira-kira 1000 SM, dan dijadikan pokok tragedy Sophocles yang tersohor bernama Oedipus raja (awal abad ke- 5 SM). Berikut secara singkat kisah Oedipus yang dirangkum dari bagian-bagian insiden yang membangun teks cerita.
Dikisahkan sepasang suami istri, yaitu Laios dan Lokaste yang bertemu dengan Orakel Delfi, yang telah meramal nasib pernikahan dan kelahiran putra mereka yang akan membunuh Laios (ayah kandungnya). Kekesalan raja Laios, membuatnya menyiksa Oedipus dengan mengikat dan memaku kaki putranya tersebut. Pembuangan Oidipus dari Thebes oleh ayahnya sendiri. Kemudian Ia ditemukan oleh pengembala dan dibawa ke Kerajaan Korintos dan dibesarkan oleh raja Polibos. Oidipus mencari Orakel untuk menanyakan orangtua kandungnya, hingga mengetahui takdirnya. Hal itu membuat kepergian Oedipus dari Korinthos ke Thebes.
Saat perjalanan ke Thebes, Oidipus tidak sengaja bertemu dengan Laios, hingga terjadinya pertikaian yang berakhir dengan kematian Laios di tangan Oidipus. Dalam pertemuan tersebut, Oidipus tidak tahu, bahwa yang dihadapinya dan dibunuhnya merupakan ayah kandungnya. Perjalanan kembali dilanjutkan dan Oidipus bertemu dengan Sfinks dan menantangnya untuk menjawab sebuah teka-teki. Hingga akhirnya Sfinks kalah dan ia memilih bunuh diri. Sfinks yang berhasil dikalahkan membuat Oedipus menjadi raja di Thebes. Ia pun menikah dengan janda, yakni Lokaste. Mereka pun memiliki empat orang anak. Dua orang putra, yakni Polineikes dan Eteokles. Serta mereka juga memiliki dua orang putri, yakni Antigone dan Ismene.
Pasca pernikahan tersebut, kerajaan Thebes diserang wabah dan bencana. Diutusnya Kreon yang merupakan saudara Lokaste untuk pergi mencari jalan ke luar dari masalah wabah yang menyerang kerajaan Thebes dengan menemui Orakel Delfi. Jawaban pun diperoleh, yakni pembunuh raja Laios harus dibunuh, agar bencana dapat dihindarkan dari Thebes. Oidipus menemui seorang peramal buta, yakni Teiresias agar segera menemukan pembunuh Laios. Pada awalnya peramal itu bungkam dan menyarankan untuk tidak mencari lagi. Namun, pertikaian terjadi, hingga memaksakan sang peramal untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa Oidipus sendiri lah yang telah membunuh sang raja yang merupakan ayah kandungnya. Pada saat yang bersamaan datanglah utusan dari kerajaan korintos yang membawa pesan, bahwa Raja Polibos dikabarkan wafat, dan sebenarnya Polibos bukanlah ayah kandungnya. Lokaste akhirnya mengetahui identitas Oidipus yang sebenarnya, bahwa ialah putra kandungnya yang sempat dibuang. Pada bagian cerita ini, Lokaste dikisahkan sangat bersedih dan menyesali diri, kemudian mengakhiri hidupnya dengan menggantung dirinya.
Oidipus membutakan dirinya dan pergi dari Thebes, ditemani anaknya Antigone. Ia pergi ke Kolonos dan mendapatkan perlindunan raja Theseus. Namun, akhirnya Oidipus pun meninggal di sana. Kedua putra Oidipus, yakni Eteokles dan Polineikes memerintah kerajaan secara bergantian. Namun, polineikes selalu curang, hingga mengakibatkan keduanya berperang. Mereka berdua akhirnya saling bunuh. Kreon memimpin kerajaan dan menyatakan Polineikes sebagai penghianat dan tidak boleh dikuburkan. Namun, Antigone berusaha menguburkan kakaknya tersebut. Usaha itu pun sia-sia, ia pun terbunuh di tangan Kreon yang merupakan pamannya sendiri.

Mitologi Sunda “Sangkuriang”
Kisah Sangkuriang berkembang di daerah Jawa Barat. Keberadaan mitologi ini identik dengan kehidupan masyarakat Sunda. Kisah ini berawal dari dikutuknya sepasang dewa dewi untuk turun ke Bumi, karena berbuat kesalahan. Sang dewi menjadi se ekor celeng yang bernama Wayung Hyang, sedangkan sang dewa dikutuk menjadi se ekor anjing yang bernama Si Tumang. Raja Sungging Perbangkara yang berburu, kemudian membuang air seni yng tertampung pada caring (keladi hutan), kemudian air itu diminum celeng Wayung Hyang. Seketika celeng tersebut hamil dan langsung melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Bayi perempuan tersebut ditemukan oleh Sang Raja yang tidak tahu kalau itu adalah putrinya. Bayi tersebut di bawa ke Kraton yang diberi nama Dayang Sumbi (Rarasati).
Para raja banyak yang berperang memperebutkan Dayang Sumbi. Mengetahui hal itu, Dayang Sumbi memilih mengasingkan diri ke atas Bukit yang ditemani oleh se ekor anjing, yakni Si Tumang. Terompong /torak (alat menenun) Dayang Sumbi jatuh ke bawah Bale, kemudian ia berjanji jika yang mengambilkan perempuan, maka akan dijadikan saudara. Namun, jika laki-laki maka akan dijadikan suami. Si Tumang lah yang akhirnya mengambilkan, sehingga Dayang Sumbi harus menepati janjinya. Pengasingan Dayang Sumbi dan Si Tumang ke Hutan, karena kerajaan merasa malu dengan pernikahan tersebut. Tiap purnama, Si Tumangng menjadi dewa yang tampan. Hingga mereka berdua bercumbu dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Sangkuriang. Dayang Sumbi ingin makan hati menjangan dan mengutus Sangkuriang untuk berburu. Saat melihat se ekor babi Sangkuriang menyuruh Si Tumangng untuk mengejar. Si Tumangng mengetahui, bahwa yang sedang diburu adalah Wayung Hyang, yang merupakan neneknya. Akhirnya Si Tumangng urung mengejar. Sangkuriang sangat kesal, kemudian ia tidak sengaja melepaskan panahnya dan membunuh Si Tumangng. Sangkuriang juga menyembelih Si Tumangng dan mengambil hatinya, kemudian diserahkan kepada Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi mengetahui, bahwa hati yang dimaknnya adalah hati suaminya sendiri. Kemarahnnya memuncak, kemudian kepala Sangkuriang dipukul dengan sendok hingga terluka. Penyesalan Dayang Sumbi karena telang mengusir anaknya. Kesedihan Dayang Sumbi sangat dalam dan memohon pada Tuhan, agar dapat dipertemukan kembali. Sangkuriang bertapa dan berguru ke berbagai tempat, hingga tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah. Ia bertemu dengan seorang gadis cantik yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Mereka pun tidak saling menyadari, kemudian dikisahkan jatuh cinta dan memadu kasih. Dayang Sumbi mengetahui, bahwa Sangkuriang adalah putranya dengan melihat tanda luka di kepalanya. Dayang Sumbi berusaha menjelaskan pada Sangkuriang, bahwa ia adalah ibunya. Namun, Sangkuriang tetap bersikeras menikahi Dayang Sumbi. Sehingga adanya persyaratan untuk membuat perahu dan telaga dalam waktu semalam yang membendung Sungai Citarum.
Berkat bantuan para Guriang (mahluk halus). Akhirnya semuanya hampir dapat diselesaikan. Mengetahui hal itu Dayang Sumbi segera membentangkan kain, yang nampak bagai fajar dari ufuk timur, hingga membuat semua mahluk halus lari dan usaha Sangkuriang Gagal. Sangkuriang menjadi sangat marah dan mngamuk. Danau yang rencananya akan dibuat berubah menjadi Gunung Manglayang. Sementara perahu yang dibuatnya ditendang dan berubh menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Sangkuriang tetap berusaha mengejar Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya berubah wujud menjadi setangkai bunga jasi di Gunung Putri. Semantara Sangkuriang, menghilang ketika tiba di Ujung Berung.




Mitologi Jawa-Bali “Prabu Watugunung”
Kisah mengenai Prabu Watugunung tidak hanya dikenal dalam kehidupan masyarakat Bali. Masyarakat Jawa, dalam hal ini pada masa kerjaan Majapahit 4 cerita ini sudah ada dan berkembang pula di Jawa hingga masuk ke Bali. Pada perkembangannya dalam kehidupan masyarakat Jawa dan Bali, kisah Watugunung ini terkait dengan siklus perhitungan pawukon. Pada kajian mengenai teks ini, lebih mengungkapkan berdasarkan versi Bali. Terutama berkaitan dengan perayaan Hari Raya Saswati yang diperingati umat Hindu di Bali tiap enam bulan sekali. Yang jatuh pada Saniscara Umanis wuku Watugunung.
Diceritakan seorang raja yang memiliki dua orang istri, yaitu Sinta dan Landep. Dewi Sinta memiliki seorang putra yang nakal yang bernama Watugunung. Kemudian dipuklnya kepala anak tersebut dengan sendok nasi. Dalam perpisahan yang cukup lama, dikisahkan mereka kembali bertemu. Dewi Sinta dan Watugunung tidak saling mengenal, hingga akhirnya mereka jatuh cinta dan menikah. Dari pernikahan tersebut, Dewi Sinta memiliki dua puluh tujuh putra, yakni Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Juluwangi, Sugsang, Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klau, Dukut.
Pasca pernikahan tersebut, kerajaan Gilingwesi mengalami kekeringan, semua tumbuhan tidak dapat tumbuh subur. Semua yang dijual menjadi serba mahal. Seluruh masyarakat menjadi menderita dan sengsara. Prabu Watugunung melaksanaan rapat dengan para Papatih untuk membahas kondisi yang melanda kerajaan. Jika saja tidak ditemukan penyebab dan solusinya, maka kerajaan akan hancur, rakyat menderita, dan Prabu Watugunung harus turun tahta. Selain itu, dengan setia kedua istrinya, yakni Dewi Sinta dan Dewi Landep duduk menemani. Prabu Watugunung beristirahat di sebuah Bale-bale kerajaan untuk merenung dan beristirahat. Kemudian gelungan sang raja pun dilepaskan. Dewi Sinta kemudian menghampiri dan mengelus-elus kepala suaminya. Saat itulah dilihat kepala Sang Raja terdapat luka. Hal itu mengingatkan Sinta akan peristiwa terdahulu yang dilakukannya pada putranya.
 


4 Dalam makalah : Watugunung, Mitos Tentang Waktu Yang Melampoi Waktu (15 Maret 2014), Jean Couteau mengungkapkan, bahwa mitos ini memiliki kemungkinan di bawa ke Bali pada saat ekspansi Majapahit ke Bali. Meskipun kini Jawa telah terislamkan, tetapi mitos ini masih terkenal luas di masyarakat Jawa

Prabu Watugunung menceritakan peristiwa di masa lalu mengenai bekas luka di kepalanya. dapat membuat Prabu Watugunung percaya dan segera ingin melakukan perang. Inilah cara yang digunakan Sinta untuk memisahkan dirinya dengan Prabu Watugunung. Hal itu kemudian membuat Dewi Sinta terkejut, sekaligus teramat bersedih karena harus menerima kenyataan, bahwa ialah anak kandungnya dan kini telah menjadi suaminya. Seketika Dewi Sinta kemudian mencari cara agar terpisah dari Prabu Watugunung dan tidak lagi menjadi istrinya. Dewi Sinta menyampaikan pada Sang Prabu, bahwa kesaktian yang dimiliki belum seberapa, jika belum dapat memperistri seorang  bidadari. Hal yang disampaikan tersebut Terjadinya rapat besar di Suralaya yang dipimpin oleh Dewa Siwa.
Dewa Siwa kemudian memerintahkan Narada untuk menghadap Dewa Wisnu. dewa Wisnu menjadi pemimpin perang dan berhadapan dengan Prabu Watugunung. Prabu Watugunung memohon peperangan dibatalkan, karena kesadarannya yang tidak akan mampu mengalahkan Dewa Wisnu. Namun, Sang prabu ingin menggantikan perang tersebut dengan bermain cecimpedan ‘teka-teki’. Jika Dewa Wisnu dapat menebak, maka Prabu Watugunung bersedia dibunuh. Namun, jika tidak berhasil, para dewa harus menyerahkan seorang bidadari untuk dijadikannya seorang istri. Dewa Wisnu berhasil menjawab teka-teki yang diajukan Prabu Watugunung dengan sangat mudah. Seketika Prabu Watugunung dapat dikalahkan dan dibunuh, sesuai dengan janjinya. Namun setelah beberapa lama, Dewa Lumanglang  kembali menghidupkan Prabu Watugunung. Mengatahui hal tersebut, Dewa Wisnu juga kembali berkeinginan membunuh Prabu Watugunung, tetapi hal ersebut dilarang oleh Dewa Siwa, karena peristiwa yang dialami Watugunung tersebut agar selalu dapat diingat oleh seluruh umat manusia, bahwa amat terlarang jika sampai menikahi ibu kandung sendiri.
Dewa Wisnu menasihati Prabu Watugunung, mengenai tindakan yang salah jika menikahi ibu kandung sendiri. Saat itu juga Prabu Watugunung diberikan hukuman agar tiap enam bulan sekali ia merasakan kesusahan. Kemudian berdasarkan kisah tersebutlah setiap enam bulan sekali yang jatuh tepat pada wuku Watugunung, turunlah Tuhan ke dunia dalam wujud Sang Hyang Aji Saraswati (Dewi Pengetahuan). Hal ini untuk mengingatkan manusia untuk terus belajar dalam berperilaku yang baik dalam kehidupan.


B.     Pembahasan
Sebagai pembahasan awal, berikut disajikan beberapa bagian yang paling penting dalam bentuk tabel, guna menghantarkan pengamatan pada jalinan dari ketiga teks yang akan dibahas selanjutnya, sebagai berikut :
Hubungan Teks
Oedipus
Sangkuriang
Prabu Watugunung
Hubungan Biologis
(antara Ibu dengan Anak)
Pada kisah ini terjadi hubungan biologis, sebagai ciri dari perilaku Incest. Hal ini ditunjukkan dengan tokoh Oedipus yang menikahi Ibunya, yaitu Lokaste dan memiliki empat orang anak.

Perilaku  Incest terjadi.
Dalam cerita Sangkuriang, hubungan biologis tidak ditunjukkan, hanya saja pengagambaran ungkapan ‘berkasih-kasih’. Pernikahan pun diceritakan belum berlangsung

Perilaku Incest hampir terjadi.
Pada kisah ini terjadi hubungan biologis, sebagai ciri dari perilaku Incest. Watugunung menikah dengan Dewi Sinta dan memiliki dua puluh tujuh orang anak.

Perilaku Incest terjadi.
Pengaruh Hubungan terhadap Kosmis

Pernikahan Oedipus dengan Lokaste seketika membuat kerajaan Thebes terserang wabah. Seluruh rakyat menderita.



Musibah terjadi

Prasyarat yang diajukan oleh Dayang Sumbi pada Sangkuriang untuk membuat perahu besar dan danau yang akhirnya menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Perubahan Lingkungan
Pasca pernikahan rakyat Gilingwesi diserang kekeringan, tanah tandus, kelaparan dimana-mana, dan rakyat menjadi menderita


Musibah terjadi
Hubungan Interaksi
(anatara Anak dengan Ayah)
Hubungan langsung antara Oedipus dengan ayahnya, yaitu Laios, yakni berkaitan dengan terbunuhnya sang ayah ditangan putranya sendiri





Anak membunuh ayah kandungnya
Sangkuriang membunuh ayahnya, yaitu Si Tumang dalam wujudnya seekor anjing








Anak membunuh ayah kandungnya
Pada kisah Watugunung, interaksi ayah dengan anak tidak begitu digambarkan, karena ayah Watugunung diceritakan pergi begitu saja meninggalkan keluarganya.


Anak yang ditinggalkan ayah kandungnya

1.      Pertalian Struktur Teks
1.1 Terpisahnya Seorang Anak Dengan Ibu Kandungnya : Tokoh Yang Tidak Saling Mengenal
Ketiga tokoh yang terdapat dalam Mitologi dari daerah yang berbeda terdapat suatu jalinan teks yang menguatkan, bahwa terdapat kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lainnya. Ketiga tokoh, yaitu Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu Watugunung terpisah dengan ibunya akibat pengusiran dan hidup terpisah jauh dari Sang Ibu, sehingga tokoh utama sesungguhnya tidak mengenali ibu kandungnya. Hal inilah yang terdapat pada ketiga teks cerita. Pengusiran yang mengakibatkan terpisahnya tokoh utama dengan ibunya inilah yang melandasi terjadinya kisah cinta, bahkan pernikahan sedarah yang kenyataannya memang tidak diperbolehkan di seluruh dunia.
Pada cerita Oedipus, terpisahnya tokoh Oedipus dengan Sang Ibu dilakukan dengan sengaja, karena pengusiran oleh ayahnya. Ketakutan akan keberadaan Oedipus yang ternyata akan membunuh Laios, yaitu ayahnya sendiri membuat Oedipus disiksa dan akhirnya dibuang. Hal ini terlukiskan dengan sangat jelas pada kutipan teks berikut :
....Laios memerintahkan untuk mengikat kaki Oedipus dan memakunya, dari sinilah ia diberi nama Oedipus, yaitu ‘kaki bengkak’. Oedipus kemudian dibuang dari Thebes, akan tetapi seorang pengembala menemukannya dan membawanya ke Krinthos untuk dipelihara oleh raja Polibos…

(Termuat pada Insiden III)

Tidak jauh berbeda halnya dengan kisah terpisahnya tokoh utama dengan ibu kandungnya pada kisah mitologi Sunda, yakni Sangkuriang. Kemarahan tokoh Ibu kepada Sangkuriang dengan memukul kepala anaknya hingga terluka, membuat kedua tokoh ini terpisah. Sangkuriang yang kesal karena tidak menerima perlakuan ibunya pergi begitu saja dengan penuh kemarahan. Sementara itu, tokoh ibu dikisahkan mengalami penyesalan setelah memperlakukan putranya dengan kasar. Akibat terpisah cukup lama, kecenderungan untuk tidak saling mengenali menjadi sebuah kemungkinan yang terjadi dalam cerita ini. Berikut kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut :


Sangkuriang dipukul dengan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka. Sangkuriang ketakutan dan lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi yang menyesali perbuatannya karena telah mengusir anaknya, mencari dan memanggil-manggil Sangkuriang ke Hutan memohon agar segera pulang, akan tetapi Sangkuriang telah pergi…

(Termuat pada Insiden IX)


Pada Mitologi Masyarakat Bali, perpisahan ini pun digambarkan saat Dewi Sinta memukul kepala Prabu watugunung. Ada kemiripan alasan terpisahnya tokoh anak dengan Ibunya pada kisah Prabu Watugunung ini dengan kisah Sangkuriang. Prabu Watugunung juga telah membuat Ibunya marah, yang mengakibatkan kepala Prabu Watugunung dipukul hingga akhirnya meninggalkan bekas luka. Berbicara mengenai pertalian teks pada kedua kisah ini yang begitu mirip, sekaligus menunjukkan bahwa pertalian antara teks cerita Nusantara antara daerah yang satu dengan yang lainnya sangatlah kuat. Kesan budaya ke timuran mengenai mendidik seorang anak juga amat terasa pada kedua kisah ini. Kesalahan seorang anak yang membuat seorang Ibu menjadi marah adalah hal yang sering terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pemberian hukuman terhadap hal tersebut menjadi sebuah kewajaran dalam keadaan tertentu. Ketidakjujuran dari Sangkuriang dan kenakalan dari Prabu Watugunung telah membuat Ibunya murka. Pengusiran yang mengakibatkan tokoh Prabu Watugunung dan Dewi Sinta terpisah juga karena kesalahan dan ketidaksengajaan. berikut kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut di atas :
Watugunung kantun alit, Ida wantah anak alit sane kalintang kual. Sangkaning kakualan Idane punika, sadaweg  biang idane ngaledokang titisan antuk suit, santukan biange kepuhan antuk panes tur maning Ida raris Sang Prabu Watugunung alit mecara raris prabune kagetok antuk muncuk situ ajengane…

(Terdapat pada Insiden ke V)

            Terjemahan :
Saat Watugunung masih anak-anak, ia merupakan anak yang sangat nakal. Akibat kenakalannya, saat Ibunya sedang memasak dengan menggunakan sendok nasi, sang Ibu sedang dalam keadaan sibuk dan kepanasan, Prabu Watugunung kecil menangis tanpa sebab, kemudian dipukullah kepalanya dengan ujung sendok nasi tersebut…




1.2 Identitas Yang Tidak Diketahui : Tokoh Anak Yang Membunuh Ayah Kandungnya
Membunuh ayah kandung tentu adalah sebuah dosa besar yang dilakukan oleh seorang anak. Perilaku yang tidak benar karena ketidaktahuan sebuah identitas menghiasi kedua teks cerita, yakni kisah Oedipus dan kisah Sangkuriang. Ketidaktahuan Oedipus dan Sangkuriang yang tidak mengenali ayahnya menjadi kelemahan dari kedua tokoh tersebut. Hal inilah yang menunjukkan terdapat pertalian diantara kedua teks. Dengan alasan yang sama, mereka secara tidak sengaja membunuh ayahnya. Jika diamati lebih dalam dari peristiwa yang terdapat pada kedua teks tersebut, menunjukkan bahwa perilaku Inces (Pernikahan sedarah) terutama anak kandung dengan Ibunya dapat dimungkinkan terjadi saat seorang Istri sudah tidak memiliki suami. Kematian suami atau tokoh ayah pada kedua cerita ini sudah sangat jelas tergambarkan menjadi latar belakang kesendirian seorang istri dengan menyandang status janda.
Identitas menjadi suatu hal yang penting saat dihadapkan pada kedua teks tersebut. Pada kisah Oedipus, Ia tidak mengenali ayah kandungnya. Perselisihan yang terjadi antara tokoh anak dengan ayahnya merupakan unsur ketidaksengajaan. Meninggalnya Laios, membuat Lokaste menyandang status janda. Kesendirian ini pula lah yang mempertemukan Oedipus dengan Lokaste. Pada kisah ini, terbunuhnya tokoh ayah, dikerenakan tidak adanya hubungan yang saling mengenal diantara keduanya. Identitas yang kabur dan mendahulukan keangkuhan, membuat perselisihan antara anak dan ayah tidak dapat terhindarkan. Hal ini terdapat pada kutipan teks berikut :

Dalam perjalanannya ke Thebes, dia tiba dipersimpangan tiga jalan dimana dia bertemu dengan kereta kuda yang dikendarai oleh raja Laios. Laios memerintahkan Oedipus minggir dari jalan agar keretanya dapat lewat, tetapi Oedipus tidak menurutinya. Oedipus tidak menenal Laios saat itu, akan tetapi keduanya terlibat dalam pertikaian dan berhasil dengan Oedipus membunuh Laios dalam perkelahian.

(Terdapat pada Insiden V)

            Dalam mitologi Sunda mengenai kisah Sangkuriang, identitas seorang ayah tidak mudah diketahui oleh anaknya, mengingat ayahnya dalam wujud seekor anjing. Dalam mitologi Sunda ini memiliki beberapa perbedaan dalam menggambarkan identitas seorang ayah. Namun, memiliki pertalian dalam hal alur ceritanya, yakni tokoh ayah sama-sama meninggal di tangan putranya sendiri. Tokoh Sangkuriang tidak sengaja membunuh Si Tumang, yaitu ayahnya dalam wujudnya seekor anjing. Identitas dalam wujud yang bebeda, yakni binatang dalam cerita ini dimunculkan. Pada cerita-cerita daerah Nusantara, kekhasan dalam mengugunakan tokoh binatang menjadi keunikan tersendiri. Hal-hal yang diluar akal sehat, seringkali meliputi cerita-cerita daerah Nusantara. Hal ini justru menjadi hal yang menarik dan menjadi sebuah ciri khas.
Selain tidak mengetahui identitas ayah kandungnya yang berwujud seekor anjing, Sangkuriang juga diliputi kemarahan, karena kekecewaannya pada Si Tumang yang merupakan ayahnya tersebut. Adapun kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut di atas, adalah sebagai berikut :
Karena kesal Sangkuriang menakut-nakuti Si Tumang dengen panah, akan tetapi secara tak sengaja anak panah terlepas dan Si Tumang terbunuh tertusuk panah.
            (Terdapat pada Insiden VII)

1.3 Kisah Kasih Terlarang  : Tokoh Anak Yang Mencintai Ibu Kandungnya
Mencintai seorang Ibu utamanya dalam konteks pasangan kekasih, tentunya hal ini tidak diperbolehkan di bagian Negara mana pun di seluruh dunia. Ibu adalah seseorang yang melahirkan setiap anak di dunia. Berdasarkan peranan dan jasanya, bahkan sering kali dalam mitologi masyarakat Bali, seorang Ibu diibaratkan bagaikan bumi ‘pertiwi’, yakni dunia itu sendiri. Membahagiakan seorang Ibu adalah tugas seorang anak sebagai suatu wujud bakti. Bakti kepada seorang ibu menjadikan kejelasan hubungan seorang anak terhadap Ibu, terutama dalam konteks ini adalah mengenai Ibu kandung. Dengan bakti, maka perasaan mencintai seorang Ibu Kandung dalam konteks pasangan kekasih tentu saja sangat dilarang. Posisi Ibu setara dengan Yang kita puja, dengan demikian perasaan cinta seperti yang dimaksudkan di atas sudah tentu adalah ke nistaan dalam suatu keluarga.
Kisah Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu Watugunung menggambarkan, bahwa ketiga tokoh ini mencintai Ibu kandungnya dalam konteks pasangan kekasih. Terwujudnya kisah cinta antara tokoh anak dengan Ibu kandung pada ketiga cerita di atas digambarkan memiliki pertalian. Namun, cara pengungkapan mengenai latar belakang timbulnya jalinan cinta, bahkan pernikahan anatara kedua tokoh memiliki alur yang berbeda. Pada kisah Oedipus, pertemuannya kembali dengan Sang Ibu, yakni Lokaste dikarenakan Ia telah berhasil menduduki tahta kerajaan ayahnya dahulu. Bersamaan dengan hal tersebut, dari kisah inilah pertemuan tokoh Oedipus dengan Ibunya yang telah menjadi janda. Hubungan kisah kasih yang terlarang ini pun terjadi dengan berakhir di Pelaminan, bahkan pernikahan itu menghasilkan empat orang anak. Berikut kutipan teks cerita yang menunjukkan hal tersebut di atas :
..karena berhasil membunuh Sfinks, Oedipus diangkat menjadi raja Thebes dan juga dinikahkan dengan janda raja Laios, yakni Lokaste. Mereka mempunyai empat anak : dua laki-laki, Polineikes dan Eteokles dan dua anak perempuan, yaitu Antigone dan Imene..

(Terdapat pada Insiden VII)

Akhir hubungan dari kisah kasih terlarang ini, diwujudkan dengan sikap Ibu kandung yang memisahkan dirinya dari Oedipus dengan bunuh diri. Kematian menjadi pilihan tokoh Ibu dalam kisah ini menyesali sikapnya tersebut dengan jalan menggantung dirinya. Hal ini menunjukkan, bahwa memang hubungan asmara seorang anak dengan Ibu kandungnya tidak diperbolehkan dan harus terpisahkan. Termasuk dengan jaan kematian salah satu tokoh yang berkonflik. Berikut kutipan teks yan menunjukkan hal tersebut :

Lokaste akhirnya mengetahui identitas sebenarnya dari Oedipus, dia kemudian lari ke Istana dan menggantung diri…

(Terdapat pada Insiden X)

Pertemuan kembali tokoh anak, yakni Sangkuriang dengan Ibu kandungnya yang masih saja terlihat cantik menimbulkan benih asmara. Kisah kasih yang dijalin keduanya dalam konteks hubungan pasangan kekasih. Hal inilah yang menunjukkan pertalian teks Sangkuriang dengan kedua teks lainnya. Namun, Pada kisah ini sedikit berbeda dengan dua cerita lainnya, yaitu pada kisah Oedipus dan Prabu Watugunung. Dalam kisah Sangkuriang yang merupakan mitologi Sunda ini, hubungan asmara atau kisah cinta terlarang itu tidak sampai ke Pelaminan. Hubungan antara tokoh anak dengan Ibu kandungnya hanya sampai pada memadu kasih atau menjadi pasangan kekasih saja. Tidak adanya alur yang menyatakan pernikahan setelah hubungan mereka terjalin. Namun, uniknya kisah cinta terlarang dalam teks ini adalah mengenai keinginan Sangkuriang yang masih saja kuat, bahkan keras kepala untuk menikahi Ibu kandungnya. Padahal kebenarannya, bahwa Dayang Sumbi adalah Ibu kandungnya telah diketahui oleh Sangkuriang. Justru pada kisah inilah pelangaran batasan seorang anak dengan Ibu kandungnya amat besar dilanggar dalam perwatakan dari tokoh Sangkuriang. Seperti yang digambarkan pada kutipan teks berikut :
…walau demikian, Sangkuriang tetap meaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi berusaha sekuat tenaga untuk menolak. maka ia pun bersiasat untuk menentukan syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang…
(Terdapat pada Insiden XII)

Kisah kasih terlarang dalam teks Sangkuriang mengalami sedikit kerumitan. Tidak hanya hubungan yang tidak berhasil ke Pelaminan. Pengajuan syarat juga menjadi permainan alur dalam kisah ini, sehingga membuat ceritanya semakin variatif dan menantang. Prasyarat digunakan tokoh Dayang Sumbi untuk menghentikan hubungan asmara dengan anak kandungnya sendiri. Mengenai prasayarat ini, juga terdapat di dalam teks Prabu Watugunung. Hal ini menunjukkan kembali, bahwa pertalian teks se-rumpun dalam konteks sastra Nusantara lebih banyak terjadi dengan budaya yang sama. Tokoh Dayang Sumbi mengajukan prasyarat yang cukup sulit kepada Sangkuriang, guna menggagalkan keinginan Sangkuriang untuk menikahinya. Berikut kutipan teksnya :

Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
            (Terdapat pada Insiden XII)

Pernikahan Sinta dan Watugunung dianugerahi dua puluh tujuh anak. Pada bagian ini, cerita Prabu Watugunung tidak jauh berbeda dengan kisah Oedipus yang juga memiliki anak dari Ibu kandungnya sendiri. Hal inilah yang menunjukkan pertalian cerita anatara mitologi Yunani dengan Mitologi dalam masyarakat Bali. Kesadaran akan sebuah kesalahan karena telah menikahi anaknya, membuat Dewi Sinta melakukan suatu cara agar dapat terpisah dari Prabu Watugunung. Pada insiden inilah terdapat pertalian cerita dengan teks Sangkuriang. Cara untuk memisahkan diri dengan anaknya dipilih sebagai jalan seorang Ibu untuk membenahi kesalahan tersebut dan ingin menjunjung kebenaran. Hal teresebut di atas, terdapat dalam kutipan teks berikut :
Manut ring pikayunan Ida Dewi Sinta, yening Ida Sang Prabu Watugunung madik widiadari saking suargan, janten pacang wenten yudha, Ida Sang Prabu Watugunung pacang kaon, tur pastika sampun Ida Sang Prabu sane ngawawa raganidane pacang newata. Punika anggen Ida jalaran mamasahang Ida Sang Prabu Watugunung.

(Terdapat pada Insiden VI)


Terjemahan :
Berdasarkan niat Dewi Sinta, yaitu jika Prabu Watugunung memperistri seorang bidadari yang berasal dari Surga, hal itu pasti akan menimbulkan peperangan, sehingga Sang Prabu nantinya akan kalah dan meninggal. Hal itulah yang dijadikan cara untuk memisahkannya dengan Prabu Watugunung.

Kebenaran mengenai pernikahan sedarah, apalagi anak dengan Ibu kandungnya dalam mitologi masyarakat Bali merupakan sebuah dosa besar yang telah dilakukan. Hubungan terlarang ini dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali juga diistilahkan dengan ‘Gamya Gamana’. Terdapat pula istilah dalam masyarakat Bali mengenai hal ini, yang disebut sebagai ‘ngaletehin gumi’ atau mengotori bumi dalam konteks ke nistaan. Apabila hal ini terjadi di Masyarakat, maka hubungan tersebut harus dipisahkan. Suatu daerah yang menjadi tempat peristiwa tersebut terjadi juga harus dibuatkan upacara pacaruan ageng ‘pembersihan secara besar-besaran’ wilayah. Tokoh Dewa Siwa menegaskan hal tersebut pada teks ini dalam dialognya terhadap Dewa Wisnu. Berikut kutipan teksnya :

Buin pidan je, tusing pesan dadi pianak nganten ngajak rerama. Ila-ila dahat, apaan ento ngaletehin gumi, mamurug sesana panumadian…

(Terdapat pada Insiden IX)


Terjemahan :
Kapanpun, tidak diperbolehkan seorang anak menikah dengan orangtuanya. Sangat berbahaya, karena hal tersebut dapat mengotori dunia, menyalahi aturan dari kelahiran…



2.      Pertalian di Luar Struktur Teks

2.1 Permaianan Teka-Teki : Menunjukkan Kecerdasan
Kecerdasan anatara tokoh satu dengan lainnya dalam upaya mewujudkan estetika karya ditunjukkan dalam teks cerita Oedipus dengan teks cerita Prabu watugunung. Dalam permainan teka-teki yang ditemukan pada kedua teks tersebut di atas, menunjukkan adanya pertalian teks. Hanya saja mengenai tokoh yang mengajukan pertanyaan dan soal yang diajukan berdeda antara teks yang satu dengan yang lainnya.
Permaianan teka-teki pada kisah Oedipus menjadi alasan pertemuan dengan tokoh Ibu kandungnya. Hal ini menghubungan hubungan kasih terlarang diantara keduanya. Dalam kisah Oedipus sebelum menduduki jabatan Ia harus mengalahkan Sfinks dalam adu kecerdasan bermain teka-teki. Kecerdasaan Oedipus membuatnya berhasil menjawab pertanyaan yang diajukan Sfinks, maka tahta kerajaan berhasil di dapatkan. Permainan teka-teki antara tokoh Sfinks dengan tokoh Oedipus, juga terjadi pada kisah Prabu Watugunung. Dalam kisah itu, permaianan teka-teki atau cecimpedan dilakukan oleh dua orang tokoh, yaitu Dewa Wisnu dengan tokoh Prabu Watugunung. Hal ini menunjukkan pertalian teks anatara keduanya. Namun, pada kisah Oedipus pemecahan teka-teki berhasil diajukan oleh tokoh Sfinks dan dimenangkan oleh tokoh Oedipus. Inilah yang membuat Oedipus naik tahta dan bertemu dengan ibunya. Berikut kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut :
…teka-tekinya adalah apa yang berjalan dengan empat kaki di pagi, dua kaki di siang, dan tiga kaki di sore hari? Oedipus menjawab Manusia : saat kecil, manusia berjalan dengan kaki dan tangannya, saat dewasa berjalan dengan dua kakinya, dan saat tu berjalan dengan tongkatnya. Setelah mendengar Oedipus menjawab dengan benar, maka Sfinks bunuh diri..

(Terdapat pada Insiden VI)

Akan tetapi, permainan teka-teki pada kisah Prabu Watugunung menjadi alasan kekalahan sekaligus terpisahnya Watugunung dari Ibu Kandungnya. Hal ini mengakhiri hubungan terlarang diantara keduanya. Pada kisah Prabu Watugunung, yang mengajukan pertanyaan justru dari Watugunung, tetapi akhirnya dimenangkan oleh Dewa Wisnu. Hal inilah yang membuat tokoh Watugunung dengan Ibunya, yaitu Dewi Sinta harus terpisah, karena kekalahan menjawab teka-teki yang mengakibatkannya mendapat hukuman kematian. Berikut kutipan kedua teks yang menunjukkan hal tersebut di atas :

… Sang Prabu ngamedalang cecimpedan sakadi puniki : “wente punyan-punyanan alit tur maning lemet sakewanten mawoh mageng, sakewanten wenten taler punyan-punyanan mageng mawoh alit, apike punika ? cecimpedan punika digelis raris kacawis olih Ida Bhatara Wisnu, sakadi rumasa tan kahanan pikewuh. Sane kabaos punyan-punyanan alit tur lemet inggih punika sumangka. Samaliha punyan-punyanan mageng mabuah alit boya wantah sios bingin.

(Terdapat pada Insiden IX)









2.2 Bekas Luka Tokoh Anak : Sebuah Tanda “Yang” Mengungkapkan
            Tanda selalu menjadi petunjuk yang memudahkan seorang pembaca dalam memahami suatu cerita. Bekas luka bahkan menunjukkan sebuah identitas dari tokoh anak pada ketiga teks tersebut sebagai sebuah tanda. Bekas luka yang dialami ketiga tokoh juga menunjukkan pertalian tersebut. Namun, pada kisah Oedipus, tanda bekas luka menjadi latar belakang nama dari tokoh ini, yaitu Oedipus yang artinya ‘kaki bengkak’. Saat mengetahui kematian tokoh Laios di tangan putranya sendiri, Ia kemudian memaku kakinya. Penyiksaan tersebutlah yang menyisakan luka yang cukup mendalam kepada Oedipus. Selanjutnya bekas luka, yakni kaki yang bengkak yang dialami Oedipus tidak menjadi latar belakang terbukanya identitas Oedipus di depan Ibu kandungnya. Justru keterengan dari seorang utusan dari Raja  Polibos lah yang mengungkapkan jati diri Oedipus.  Berikut kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut :
Utusan itu juga mengungkapkan bahwa Oedipus sebenarnya adalah anak angkat Polibos. Lokaste akhirnya mengatahui identitas yang sebenarnya dari Oedipus…
(Terdapat pada Insiden X)
Bekas luka pada kisah Sangkuriang dengan Prabu Watugunung sama persis. Tokoh Ibu yang memukul kepala anaknya dengan sendok, adalah pertalian teks yang dimaksudkan. Sangkuriang yang kemudian pergi meninggalkan Ibunya karena peristiwa tersebut, juga terjadi pada tokoh Watugunung. Sampai pada akhirnya bekas luka tersebut menjadi tanda terungkapnya identitas tokoh anak. Berikut kutipan teks yang menunjukkan hubungan dari kedua teks tersebut :
Saat Sangkuriang tengah bersandar mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui, bahwa Sangkuriang adalah putranya dengan tanda luka di kepalanya, bekas pukulan sendok Dayang Sumbi.

(Terdapat pada Insiden XII cerita Sangkuriang)

Ritatkala Sang Prabu Watugunung makolem ring Bale-balean, gelung kaprabone sampun kagenahang. Duk punika Ida Dewi Sinta polih nyaksinin prabun Ida Sang Prabu. Prajani maksyab Ida Dewi Sinta duaning wenten kanin rahat pisan lan kantun biketnyane.

(Terdapat pada Insiden IV)

Terjemahan :
Pada saat Prabu Watugunung tidur di Bale-balean, mahkota raja pun dilepaskannya dan sitaruhnya. Saat itu pula Dewi Sinta melihat kepala Sang prabu. Teramat kaget Dewi Sinta karena terdapat luka yang sangat lebar dan besar.

Bekas luka sebagai sebuah tanda, nampak memiliki peranan yang sedikit berbeda pada cerita Oedipus. Pada teks cerita Sangkuriang dengan Prabu Watugunung bekas luka sebagai tanda menjadi pengungkap jati diri. Namun, pada kisah Oedipus, bekas luka sebagai tanda menjadi latar belakang penamaan. Pada kedua kisah, yakni Sangkuriang dengan Prabu Watugunung, bekas luka yang ditinggalkan seorang Ibu pada anaknya, menunjukkan hubungan batin yang sesungguhnya lebih dekat anatara Ibu dan anak. Konflik batin keduanya diadu dan digambarkan dengan kuat pada kedua teks cerita yang serumpun itu.

2.3 Perilaku Incest : Membawa Bencana Pada Kehidupan Masyarakat
            Perilaku Incest tidak diperbolehkan di seluruh dunia. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan terhadap norma-norma yang ada dalam tatanan kehidupan manusia dalam konteks kepercayaan dan kegamaan. Mitologi Yunani pada teks cerita Oedipus juga menunjukkan hal tersebut. Ketika pernikahan benar telah terjadi, yakni antara seorang anak dengan Ibu kandung, maka bencana akan segera ditimbulkan di daerah atau wilayah tempat peristiwa itu terjadi. Berikut kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut :
Bertahun-tahun setelah perkawinan Oedipus dan Lokaste, suatu wabah menyerang Kota Thebes.
(Terdapat pada Insiden VIII)

Incest dalam kisah Oedipus yang menajdi mitologi Yunani nampaknya menjadi perwakilan mengenai norma-norma yang berlaku dalah tatanan kehidupan masyarakat Bali. Yunani dengan peradaban yang sedemikian maju, nyatanya memang tidak memperbolehkan Inces tersebut terjadi di dalam masyarakat Yunani. kata /wabah/ pada rangkaian kalimat di atas menunjukkan, bahwa dampak perilaku Inces dalam kehidupan masyarakat sangat berbahaya dan akan mendatangan kesengsaraan.
Perilaku Incest juga sangat tidak diperkenakan terjadi dalam norma-norma kehidupan masyarakat Bali. Saat pernikahan yang sudah terjadi anatara Prabu Watugunung dengan Ibunya, yaitu Dewi Sinta terjadi, justru kesengsaraan dan penderitaan menyelimuti seluruh kerajaan. Yang merasakan penderitaan tersebut justru masyarakat luas. Inilah sebuah kepercaan dari suatu kelompok masyarakat, sehingga perilaku ini menjadi mitologi masyarakatnya. Hal tersebut ditunjukkan pada kutipan teks berikut :

Para wadwane sami kasengsaran, blabar agung nyabran rahina magejeran nenten papegatan. Sasihe sampun nyalah masa, panese nyansan ngentak-entak, yadiastun sampun masaning sabeh. Kasuen-suen jagat Gilingwesi nyangsan sayah

(Terdapat pada Insiden II)

Terjemahan :
Seluruh mahluk hidup mengalami kesengsaraan, banjir besar terjadi setia hari. Perputaran musim sudah tidak tentu, bumi terasa semakin panas pada musim hujan. Lama-kelaman kerajaan gilingwesi akan hancur…

Kata /sayah/ pada kutipan teks di atas menunjukkan, bahwa perilaku Inces dalam kehidupan masyarakat Bali dalam kisah Prabu Watugunung juga sangat tidak dibenarkan. Sayah, berarti musnah atau hancur dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pelakunya sendiri, tetapi semua mahluk yang ada dalam lingkungan tersebut. Peristiwa seperti ini telah menjadi gambaran idiologi dari suatu masyarakat yang terbungkus dalam cerita lisan, yang dalam hal ini menjadi sebuah mitologi.inilah yang menjadi pertalian teks anatara mitologi Yunani dengan mitologi masyarakat Bali. Dari kisah ini ada kesamaan idiologi masyarakatnya.
C.    Penutup
Kajian komparatif di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak reisterpretasi modern dari cerita-cerita tradisional yang mengakakar kuat dalam kehidupan masyarakat sebagai sebuah mitologi. Selanjutnya dapat digali kembali kreativitas dalam pengungkapan sastra-sastra lisan seperti mitologi-mitologi yang terdapat di seluruh dunia. Sejauh hasil analisis yang dilakukan, ,tragedi psikologis dan psilosofis menjadi kandungan dari ketiga teks mitologi tersebut. Hal ini menunjukkan posisi kebudayaan local yang masih hidup dalam budaya global. Namun, membutuhkan penyesuaian dan pemahaman terhadap norma-norma yang digambarkan.





Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Citra.
Couteau, Jean. 2014. Makalah : Watugunung Mitos Tentang Waktu Yang Melampoi Waktu. Dipresentasikan pada acara Rembug Sastra Purnama Badrawada di Pura Jaganatha.
Danandjaja, james. 1984. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta : PT. Temprint.
Palguna, Ida Bagus Made Dharma. 1999. Dharma Sunya : Memuja dan Meneliti Siwa. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. 2011. Multikulturalisme dan Integritas Bangsa. Jakarta : Depertemen Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Ratna, Nyoman Kuta. 2010. Stilistika: Kajian Poetika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Sumardjo, Jakob., Sini, KM. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Matthews, P.H. 1974. Morphology : An Introduction to The Theory of Word Structure. London: Cambridge University Press.
Ramlan, Prof. Drs. M. 1985. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriftif. Yogyakarta : CV. Karyono.
Simpen, I Wayan. 2009. Morfologi : Sebuah Pengantar Ringkas. Denpasar : Udayana University Press.
Halliday, M.A.K. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks : Aspek-Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Pudentia, MPSS, 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Sumarjo, Jakob.,Saini, KM. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.






2 komentar:

  1. 888Sport | Baccarat (888-789-9000) | Verified | Free Baccarat Rules
    888Sport review. It has been certified worrione by the London Gambling 온카지노 Commission (GLC). To use the casino with our site we recommend the use of a Trustly One® 1xbet

    BalasHapus