WACANA
INCEST ¹
DALAM
MITOLOGI YUNANI “OEDIPUS”, MITOLOGI SUNDA “SANGKURIANG”,
DAN
MITOLOGI MASYARAKAT JAWA-BALI “PRABU
WATUGUNUNG”
Oleh :
Luh Yesi Candrika,S.S.
A.
Pengantar
Topik makalah ini ialah sebagai
kajian awal atas keberadaan mitos Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu Watugunung.
Pengamatan terhadap ketiga teks merupakan interpretasi naratif atas norma-norma dalam kehidupan masyarakat
mengenai perilaku Incest. Perilaku Incest dalam kehidupan masyarakat di
seluruh dunia berkenaan dengan norma-norma yang ada. Cerita yang mengisahkan
tentang Incest ditemukan di seluruh
dunia, di dalam mitos awal dari hampir semua suku bangsa ². Versi yang
disampaikan bermacam-macam, tergantung dari kehidupan sosial masyarakatnya yang
menjadi peletakan dasar dari suatu peradaban. Maka Incest selalu bersentuhan dengan fenomena masyarakat dan
kehidupannya. Fenomena tersebut seringkali tergambarkan dalam cerita rakyat
yang dijadikan sebagai tuntunan dalam berperilaku oleh manusia. Sebagai bagain
dari folklor³, cerita rakyat adalah
alat yang dirasa ampuh untuk mengarahkan dan mendidik masyarakatnya. Dalam hal
ini misalnya, untuk menghindari terjadi Incest
dalam kehidupan masyarakat.
Mengenai Incest termuat dalam ketiga teks dari wilayah yang berbeda, dengan
peradaban dunia yang berbeda, yakni di dalam mitologi Yunani, yaitu dalam kisah
Oedipus, mitologi Sunda, dalam kisah Sangkuriang, dan mitologi masyarakat Jawa-Bali
dalam kisah Prabu Watugunung. Peristiwa
Incest, menunjukkan peristiwa
sosio-antropologis, yang mengutamakan hubungan biologis.

² Pernyataan tersebut di atas, dikutip dari makalah Jean Couteau yang dipresentasikan pada acara
Rembug Sastra Purnama Bhadrawada di Pura Jagatnatha, Denpasar 15 Maret 2014.
³ Folklor
merupakan (Folk, kolektif yang
memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama. Lore, adalah sebagian dari kebudayaannya
, yang diwariskan turun-temurun secara lisan, atau melalui contoh gerak isyarat
atau alat pembantu pengingat) adalah sebagaian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara
turun-temurun, lihat James
Danandjaja.”Folklor Indonesia :Ilmu Gosip, Dongeng, dll”. 1984. Jakarta.
Pada mitologis yang mengisahkan asmara antara
seorang ayah dengan putrinya, atau sebaliknya, yakni seorang ibu yang menikahi
putrinya adalah sebuah ketidak wajaran. Dalam konteks seksualitas, menjalin
hubungan asmara hubungan sedarah tersebut tidak ada bedanya dengan perilaku
binatang. Pada peradaban masyarakat terdahulu yang belum mengenal tatanan sosial,
maka peristiwa ini dimungkinkan terjadi.
Keberadaan mitologi Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu
Watugunung menunjukkan peristiwa tatanan masyarakat yang belum tertata,
dengan keberadaan lembaga keluarga yang belum tersusun kuat dalam suatu
wilayah. Perilaku menyimpang ini terdapat pada ketiga teks yang memiliki
pertalian kuat dan menunjukkan kehidupan seksual para tokoh yang tidak teratur.
Dalam ketiga teks yang menunjukkan perilaku Incest,
berawal dari ketidaksengajaan dan ketidaktahuan identitas anatar tokoh. Yang
mengalami perilaku ini pada ketiga teks, yakni anatara seorang Ibu dengan putra
kandungnya. Secara garis besar, ketiga mitos ini memiliki kemiripan dari
struktur narasinya, terutama pada bagian kisah cinta antara tokoh Ibu dengan
putra kandungnya.
Pengamatan terhadap ketiga teks
cerita tidak hanya pada struktur narasi saja. Mitos yang bersifat universal dan
menunjukkan hubungan atau keterjalinan antara cerita yang satu dengan yang
lainnya, maka sangat memungkinkan adanya bagian-bagian yang sama. Namun, dengan
melihat hubungan dan keterjalinan ini, juga membantu menunjukkan asas-asas
cultural masyarakat yang digambarkan dalam cerita amat berbeda. Utamanya
mitologi Oedipus dengan kisah Prabu Watugunung yang kental menunjukkan tempat
sastra itu lahir. Budaya ke timuran dalam kisah kisah Watugunung mengggambarkan
mengenai spiritual-magis yang berorientasi pada keseimbangan lingkungan atau
kosmis. Demikian pula dengan kisah Sangkuriang dalam konteks sastra daerah
Nusantara. Pada mitologi Yunani, yakni Oedipus tergambarkan tokoh yang bebas,
tetapi berkaitan pula dengan lingkungan.
Kajian ketiga teks menarik
dilakukan, mengingat perkembangan sebuah mitologi yang keberadaan sudah cukup
lama dalam tradisi dan kehidupan suatu masyarakat yang berbeda dan mendiami
suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, Pengamatan terhadap hubungan atau
ketrerjalinan ketiga teks menjadi perhatian utama dalam kajian intertekstual.
Mitologi Yunanai
“Oedipus”
Cerita dalam mitologi Yunani, yakni
Oedipus merupakan cerita mistis yang berasal dari zaman Yunani Purba kira-kira
1000 SM, dan dijadikan pokok tragedy Sophocles yang tersohor bernama Oedipus
raja (awal abad ke- 5 SM). Berikut secara singkat kisah Oedipus yang dirangkum
dari bagian-bagian insiden yang membangun teks cerita.
Dikisahkan
sepasang suami istri, yaitu Laios dan Lokaste yang bertemu dengan Orakel Delfi,
yang telah meramal nasib pernikahan dan kelahiran putra mereka yang akan
membunuh Laios (ayah kandungnya). Kekesalan raja Laios, membuatnya menyiksa Oedipus
dengan mengikat dan memaku kaki putranya tersebut. Pembuangan Oidipus dari
Thebes oleh ayahnya sendiri. Kemudian Ia ditemukan oleh pengembala dan dibawa
ke Kerajaan Korintos dan dibesarkan oleh raja Polibos. Oidipus mencari Orakel
untuk menanyakan orangtua kandungnya, hingga mengetahui takdirnya. Hal itu
membuat kepergian Oedipus dari Korinthos ke Thebes.
Saat perjalanan
ke Thebes, Oidipus tidak sengaja bertemu dengan Laios, hingga terjadinya pertikaian
yang berakhir dengan kematian Laios di tangan Oidipus. Dalam pertemuan
tersebut, Oidipus tidak tahu, bahwa yang dihadapinya dan dibunuhnya merupakan
ayah kandungnya. Perjalanan kembali dilanjutkan dan Oidipus bertemu dengan
Sfinks dan menantangnya untuk menjawab sebuah teka-teki. Hingga akhirnya Sfinks
kalah dan ia memilih bunuh diri. Sfinks yang berhasil dikalahkan membuat Oedipus
menjadi raja di Thebes. Ia pun menikah dengan janda, yakni Lokaste. Mereka pun
memiliki empat orang anak. Dua orang putra, yakni Polineikes dan Eteokles.
Serta mereka juga memiliki dua orang putri, yakni Antigone dan Ismene.
Pasca pernikahan
tersebut, kerajaan Thebes diserang wabah dan bencana. Diutusnya Kreon yang
merupakan saudara Lokaste untuk pergi mencari jalan ke luar dari masalah wabah
yang menyerang kerajaan Thebes dengan menemui Orakel Delfi. Jawaban pun
diperoleh, yakni pembunuh raja Laios harus dibunuh, agar bencana dapat
dihindarkan dari Thebes. Oidipus menemui seorang peramal buta, yakni Teiresias
agar segera menemukan pembunuh Laios. Pada awalnya peramal itu bungkam dan
menyarankan untuk tidak mencari lagi. Namun, pertikaian terjadi, hingga
memaksakan sang peramal untuk mengatakan yang sebenarnya, bahwa Oidipus sendiri
lah yang telah membunuh sang raja yang merupakan ayah kandungnya. Pada saat
yang bersamaan datanglah utusan dari kerajaan korintos yang membawa pesan,
bahwa Raja Polibos dikabarkan wafat, dan sebenarnya Polibos bukanlah ayah
kandungnya. Lokaste akhirnya mengetahui identitas Oidipus yang sebenarnya,
bahwa ialah putra kandungnya yang sempat dibuang. Pada bagian cerita ini,
Lokaste dikisahkan sangat bersedih dan menyesali diri, kemudian mengakhiri
hidupnya dengan menggantung dirinya.
Oidipus
membutakan dirinya dan pergi dari Thebes, ditemani anaknya Antigone. Ia pergi
ke Kolonos dan mendapatkan perlindunan raja Theseus. Namun, akhirnya Oidipus
pun meninggal di sana. Kedua putra Oidipus, yakni Eteokles dan Polineikes
memerintah kerajaan secara bergantian. Namun, polineikes selalu curang, hingga
mengakibatkan keduanya berperang. Mereka berdua akhirnya saling bunuh. Kreon
memimpin kerajaan dan menyatakan Polineikes sebagai penghianat dan tidak boleh
dikuburkan. Namun, Antigone berusaha menguburkan kakaknya tersebut. Usaha itu
pun sia-sia, ia pun terbunuh di tangan Kreon yang merupakan pamannya sendiri.
Mitologi Sunda “Sangkuriang”
Kisah Sangkuriang
berkembang di daerah Jawa Barat. Keberadaan mitologi ini identik dengan
kehidupan masyarakat Sunda. Kisah ini berawal dari dikutuknya sepasang dewa
dewi untuk turun ke Bumi, karena berbuat kesalahan. Sang dewi menjadi se ekor
celeng yang bernama Wayung Hyang, sedangkan sang dewa dikutuk menjadi se ekor
anjing yang bernama Si Tumang. Raja Sungging Perbangkara yang berburu, kemudian
membuang air seni yng tertampung pada caring (keladi hutan), kemudian air itu
diminum celeng Wayung Hyang. Seketika celeng tersebut hamil dan langsung
melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Bayi perempuan tersebut
ditemukan oleh Sang Raja yang tidak tahu kalau itu adalah putrinya. Bayi
tersebut di bawa ke Kraton yang diberi nama Dayang Sumbi (Rarasati).
Para
raja banyak yang berperang memperebutkan Dayang Sumbi. Mengetahui hal itu,
Dayang Sumbi memilih mengasingkan diri ke atas Bukit yang ditemani oleh se ekor
anjing, yakni Si Tumang. Terompong /torak (alat menenun) Dayang Sumbi jatuh ke
bawah Bale, kemudian ia berjanji jika yang mengambilkan perempuan, maka akan
dijadikan saudara. Namun, jika laki-laki maka akan dijadikan suami. Si Tumang lah
yang akhirnya mengambilkan, sehingga Dayang Sumbi harus menepati janjinya. Pengasingan
Dayang Sumbi dan Si Tumang ke Hutan, karena kerajaan merasa malu dengan
pernikahan tersebut. Tiap purnama, Si Tumangng menjadi dewa yang tampan. Hingga
mereka berdua bercumbu dan melahirkan seorang putra yang diberi nama
Sangkuriang. Dayang Sumbi ingin makan hati menjangan dan mengutus Sangkuriang
untuk berburu. Saat melihat se ekor babi Sangkuriang menyuruh Si Tumangng untuk
mengejar. Si Tumangng mengetahui, bahwa yang sedang diburu adalah Wayung Hyang,
yang merupakan neneknya. Akhirnya Si Tumangng urung mengejar. Sangkuriang
sangat kesal, kemudian ia tidak sengaja melepaskan panahnya dan membunuh Si
Tumangng. Sangkuriang juga menyembelih Si Tumangng dan mengambil hatinya,
kemudian diserahkan kepada Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi
mengetahui, bahwa hati yang dimaknnya adalah hati suaminya sendiri. Kemarahnnya
memuncak, kemudian kepala Sangkuriang dipukul dengan sendok hingga terluka. Penyesalan
Dayang Sumbi karena telang mengusir anaknya. Kesedihan Dayang Sumbi sangat
dalam dan memohon pada Tuhan, agar dapat dipertemukan kembali. Sangkuriang
bertapa dan berguru ke berbagai tempat, hingga tumbuh menjadi pemuda tampan dan
gagah. Ia bertemu dengan seorang gadis cantik yang tidak lain adalah Dayang
Sumbi. Mereka pun tidak saling menyadari, kemudian dikisahkan jatuh cinta dan
memadu kasih. Dayang Sumbi mengetahui, bahwa Sangkuriang adalah putranya dengan
melihat tanda luka di kepalanya. Dayang Sumbi berusaha menjelaskan pada Sangkuriang,
bahwa ia adalah ibunya. Namun, Sangkuriang tetap bersikeras menikahi Dayang
Sumbi. Sehingga adanya persyaratan untuk membuat perahu dan telaga dalam waktu
semalam yang membendung Sungai Citarum.
Berkat bantuan
para Guriang (mahluk halus). Akhirnya semuanya hampir dapat diselesaikan.
Mengetahui hal itu Dayang Sumbi segera membentangkan kain, yang nampak bagai
fajar dari ufuk timur, hingga membuat semua mahluk halus lari dan usaha
Sangkuriang Gagal. Sangkuriang menjadi sangat marah dan mngamuk. Danau yang
rencananya akan dibuat berubah menjadi Gunung Manglayang. Sementara perahu yang
dibuatnya ditendang dan berubh menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Sangkuriang
tetap berusaha mengejar Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya berubah wujud
menjadi setangkai bunga jasi di Gunung Putri. Semantara Sangkuriang, menghilang
ketika tiba di Ujung Berung.
Mitologi Jawa-Bali “Prabu
Watugunung”
Kisah mengenai Prabu
Watugunung tidak hanya dikenal dalam kehidupan masyarakat Bali. Masyarakat
Jawa, dalam hal ini pada masa kerjaan Majapahit 4
cerita ini sudah ada dan berkembang pula di Jawa hingga masuk ke Bali. Pada
perkembangannya dalam kehidupan masyarakat Jawa dan Bali, kisah Watugunung ini
terkait dengan siklus perhitungan pawukon.
Pada kajian mengenai teks ini, lebih mengungkapkan berdasarkan versi Bali. Terutama
berkaitan dengan perayaan Hari Raya Saswati yang diperingati umat Hindu di Bali
tiap enam bulan sekali. Yang jatuh pada Saniscara Umanis wuku Watugunung.
Diceritakan seorang
raja yang memiliki dua orang istri, yaitu Sinta dan Landep. Dewi Sinta memiliki
seorang putra yang nakal yang bernama Watugunung. Kemudian dipuklnya kepala
anak tersebut dengan sendok nasi. Dalam perpisahan yang cukup lama, dikisahkan
mereka kembali bertemu. Dewi Sinta dan Watugunung tidak saling mengenal, hingga
akhirnya mereka jatuh cinta dan menikah. Dari pernikahan tersebut, Dewi Sinta
memiliki dua puluh tujuh putra, yakni Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga,
Warigadian, Juluwangi, Sugsang, Dunggulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut,
Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Prangbakat,
Bala, Ugu, Wayang, Klau, Dukut.
Pasca pernikahan
tersebut, kerajaan Gilingwesi mengalami kekeringan, semua tumbuhan tidak dapat
tumbuh subur. Semua yang dijual menjadi serba mahal. Seluruh masyarakat menjadi
menderita dan sengsara. Prabu Watugunung melaksanaan rapat dengan para Papatih
untuk membahas kondisi yang melanda kerajaan. Jika saja tidak ditemukan
penyebab dan solusinya, maka kerajaan akan hancur, rakyat menderita, dan Prabu
Watugunung harus turun tahta. Selain itu, dengan setia kedua istrinya, yakni
Dewi Sinta dan Dewi Landep duduk menemani. Prabu Watugunung beristirahat di
sebuah Bale-bale kerajaan untuk merenung dan beristirahat. Kemudian gelungan
sang raja pun dilepaskan. Dewi Sinta kemudian menghampiri dan mengelus-elus
kepala suaminya. Saat itulah dilihat kepala Sang Raja terdapat luka. Hal itu
mengingatkan Sinta akan peristiwa terdahulu yang dilakukannya pada putranya.
![]() |
4 Dalam makalah : Watugunung, Mitos Tentang Waktu Yang Melampoi Waktu (15 Maret 2014),
Jean Couteau mengungkapkan, bahwa mitos ini memiliki kemungkinan di bawa ke
Bali pada saat ekspansi Majapahit ke Bali. Meskipun kini Jawa telah
terislamkan, tetapi mitos ini masih terkenal luas di masyarakat Jawa
Prabu Watugunung
menceritakan peristiwa di masa lalu mengenai bekas luka di kepalanya. dapat
membuat Prabu Watugunung percaya dan segera ingin melakukan perang. Inilah cara
yang digunakan Sinta untuk memisahkan dirinya dengan Prabu Watugunung. Hal itu
kemudian membuat Dewi Sinta terkejut, sekaligus teramat bersedih karena harus
menerima kenyataan, bahwa ialah anak kandungnya dan kini telah menjadi
suaminya. Seketika Dewi Sinta kemudian mencari cara agar terpisah dari Prabu
Watugunung dan tidak lagi menjadi istrinya. Dewi Sinta menyampaikan pada Sang
Prabu, bahwa kesaktian yang dimiliki belum seberapa, jika belum dapat
memperistri seorang bidadari. Hal yang
disampaikan tersebut Terjadinya rapat besar di Suralaya yang dipimpin oleh Dewa
Siwa.
Dewa Siwa kemudian
memerintahkan Narada untuk menghadap Dewa Wisnu. dewa Wisnu menjadi pemimpin
perang dan berhadapan dengan Prabu Watugunung. Prabu Watugunung memohon
peperangan dibatalkan, karena kesadarannya yang tidak akan mampu mengalahkan
Dewa Wisnu. Namun, Sang prabu ingin menggantikan perang tersebut dengan bermain
cecimpedan ‘teka-teki’. Jika Dewa
Wisnu dapat menebak, maka Prabu Watugunung bersedia dibunuh. Namun, jika tidak
berhasil, para dewa harus menyerahkan seorang bidadari untuk dijadikannya
seorang istri. Dewa Wisnu berhasil menjawab teka-teki yang diajukan Prabu
Watugunung dengan sangat mudah. Seketika Prabu Watugunung dapat dikalahkan dan
dibunuh, sesuai dengan janjinya. Namun setelah beberapa lama, Dewa Lumanglang kembali menghidupkan Prabu Watugunung.
Mengatahui hal tersebut, Dewa Wisnu juga kembali berkeinginan membunuh Prabu
Watugunung, tetapi hal ersebut dilarang oleh Dewa Siwa, karena peristiwa yang
dialami Watugunung tersebut agar selalu dapat diingat oleh seluruh umat
manusia, bahwa amat terlarang jika sampai menikahi ibu kandung sendiri.
Dewa
Wisnu menasihati Prabu Watugunung, mengenai tindakan yang salah jika menikahi
ibu kandung sendiri. Saat itu juga Prabu Watugunung diberikan hukuman agar tiap
enam bulan sekali ia merasakan kesusahan. Kemudian berdasarkan kisah
tersebutlah setiap enam bulan sekali yang jatuh tepat pada wuku Watugunung,
turunlah Tuhan ke dunia dalam wujud Sang Hyang Aji Saraswati (Dewi
Pengetahuan). Hal ini untuk mengingatkan manusia untuk terus belajar dalam
berperilaku yang baik dalam kehidupan.
B.
Pembahasan
Sebagai
pembahasan awal, berikut disajikan beberapa bagian yang paling penting dalam
bentuk tabel, guna menghantarkan pengamatan pada jalinan dari ketiga teks yang
akan dibahas selanjutnya, sebagai berikut :
Hubungan Teks
|
Oedipus
|
Sangkuriang
|
Prabu Watugunung
|
Hubungan
Biologis
(antara Ibu
dengan Anak)
|
Pada kisah ini
terjadi hubungan biologis, sebagai ciri dari perilaku Incest. Hal ini ditunjukkan dengan tokoh Oedipus yang menikahi
Ibunya, yaitu Lokaste dan memiliki empat orang anak.
Perilaku
Incest terjadi.
|
Dalam cerita
Sangkuriang, hubungan biologis tidak ditunjukkan, hanya saja pengagambaran
ungkapan ‘berkasih-kasih’.
Pernikahan pun diceritakan belum berlangsung
Perilaku Incest hampir terjadi.
|
Pada kisah ini terjadi hubungan
biologis, sebagai ciri dari perilaku Incest.
Watugunung menikah dengan Dewi Sinta dan memiliki dua puluh tujuh orang anak.
Perilaku Incest terjadi.
|
Pengaruh
Hubungan terhadap Kosmis
|
Pernikahan Oedipus
dengan Lokaste seketika membuat kerajaan Thebes terserang wabah. Seluruh
rakyat menderita.
Musibah terjadi
|
Prasyarat yang
diajukan oleh Dayang Sumbi pada Sangkuriang untuk membuat perahu besar dan
danau yang akhirnya menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Perubahan Lingkungan
|
Pasca
pernikahan rakyat Gilingwesi diserang kekeringan, tanah tandus, kelaparan
dimana-mana, dan rakyat menjadi menderita
Musibah terjadi
|
Hubungan Interaksi
(anatara Anak dengan
Ayah)
|
Hubungan langsung antara Oedipus
dengan ayahnya, yaitu Laios, yakni berkaitan dengan terbunuhnya sang ayah
ditangan putranya sendiri
Anak membunuh
ayah kandungnya
|
Sangkuriang membunuh ayahnya, yaitu Si
Tumang dalam wujudnya seekor anjing
Anak membunuh ayah kandungnya
|
Pada kisah Watugunung, interaksi ayah
dengan anak tidak begitu digambarkan, karena ayah Watugunung diceritakan
pergi begitu saja meninggalkan keluarganya.
Anak yang
ditinggalkan ayah kandungnya
|
1.
Pertalian
Struktur Teks
1.1 Terpisahnya Seorang Anak Dengan
Ibu Kandungnya : Tokoh Yang Tidak Saling
Mengenal
Ketiga tokoh yang terdapat dalam Mitologi dari
daerah yang berbeda terdapat suatu jalinan teks yang menguatkan, bahwa terdapat
kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lainnya. Ketiga tokoh, yaitu Oedipus,
Sangkuriang, dan Prabu Watugunung terpisah dengan ibunya akibat pengusiran dan
hidup terpisah jauh dari Sang Ibu, sehingga tokoh utama sesungguhnya tidak
mengenali ibu kandungnya. Hal inilah yang terdapat pada ketiga teks cerita.
Pengusiran yang mengakibatkan terpisahnya tokoh utama dengan ibunya inilah yang
melandasi terjadinya kisah cinta, bahkan pernikahan sedarah yang kenyataannya
memang tidak diperbolehkan di seluruh dunia.
Pada cerita Oedipus,
terpisahnya tokoh Oedipus dengan Sang Ibu dilakukan dengan sengaja, karena
pengusiran oleh ayahnya. Ketakutan akan keberadaan Oedipus yang ternyata akan
membunuh Laios, yaitu ayahnya sendiri membuat Oedipus disiksa dan akhirnya
dibuang. Hal ini terlukiskan dengan sangat jelas pada kutipan teks berikut :
....Laios memerintahkan untuk
mengikat kaki Oedipus dan memakunya, dari sinilah ia diberi nama Oedipus, yaitu
‘kaki bengkak’. Oedipus kemudian dibuang dari Thebes, akan tetapi seorang
pengembala menemukannya dan membawanya ke Krinthos untuk dipelihara oleh raja Polibos…
(Termuat pada Insiden III)
Tidak jauh berbeda
halnya dengan kisah terpisahnya tokoh utama dengan ibu kandungnya pada kisah
mitologi Sunda, yakni Sangkuriang. Kemarahan tokoh Ibu kepada Sangkuriang
dengan memukul kepala anaknya hingga terluka, membuat kedua tokoh ini terpisah.
Sangkuriang yang kesal karena tidak menerima perlakuan ibunya pergi begitu saja
dengan penuh kemarahan. Sementara itu, tokoh ibu dikisahkan mengalami
penyesalan setelah memperlakukan putranya dengan kasar. Akibat terpisah cukup
lama, kecenderungan untuk tidak saling mengenali menjadi sebuah kemungkinan
yang terjadi dalam cerita ini. Berikut kutipan teks yang menunjukkan hal
tersebut :
Sangkuriang dipukul dengan sendok
yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka. Sangkuriang ketakutan dan
lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi yang menyesali perbuatannya karena telah
mengusir anaknya, mencari dan memanggil-manggil Sangkuriang ke Hutan memohon
agar segera pulang, akan tetapi Sangkuriang telah pergi…
(Termuat pada Insiden IX)
Pada Mitologi
Masyarakat Bali, perpisahan ini pun digambarkan saat Dewi Sinta memukul kepala
Prabu watugunung. Ada kemiripan alasan terpisahnya tokoh anak dengan Ibunya
pada kisah Prabu Watugunung ini dengan kisah Sangkuriang. Prabu Watugunung juga
telah membuat Ibunya marah, yang mengakibatkan kepala Prabu Watugunung dipukul
hingga akhirnya meninggalkan bekas luka. Berbicara mengenai pertalian teks pada
kedua kisah ini yang begitu mirip, sekaligus menunjukkan bahwa pertalian antara
teks cerita Nusantara antara daerah yang satu dengan yang lainnya sangatlah
kuat. Kesan budaya ke timuran mengenai mendidik seorang anak juga amat terasa
pada kedua kisah ini. Kesalahan seorang anak yang membuat seorang Ibu menjadi
marah adalah hal yang sering terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pemberian
hukuman terhadap hal tersebut menjadi sebuah kewajaran dalam keadaan tertentu.
Ketidakjujuran dari Sangkuriang dan kenakalan dari Prabu Watugunung telah
membuat Ibunya murka. Pengusiran yang mengakibatkan tokoh Prabu Watugunung dan
Dewi Sinta terpisah juga karena kesalahan dan ketidaksengajaan. berikut kutipan
teks yang menunjukkan hal tersebut di atas :
Watugunung
kantun alit, Ida wantah anak alit sane kalintang kual. Sangkaning kakualan
Idane punika, sadaweg biang idane
ngaledokang titisan antuk suit, santukan biange kepuhan antuk panes tur maning
Ida raris Sang Prabu Watugunung alit mecara raris prabune kagetok antuk muncuk
situ ajengane…
(Terdapat pada Insiden ke V)
Terjemahan :
Saat Watugunung
masih anak-anak, ia merupakan anak yang sangat nakal. Akibat kenakalannya, saat
Ibunya sedang memasak dengan menggunakan sendok nasi, sang Ibu sedang dalam
keadaan sibuk dan kepanasan, Prabu Watugunung kecil menangis tanpa sebab,
kemudian dipukullah kepalanya dengan ujung sendok nasi tersebut…
1.2 Identitas Yang Tidak Diketahui : Tokoh Anak Yang Membunuh Ayah Kandungnya
Membunuh ayah kandung
tentu adalah sebuah dosa besar yang dilakukan oleh seorang anak. Perilaku yang
tidak benar karena ketidaktahuan sebuah identitas menghiasi kedua teks cerita,
yakni kisah Oedipus dan kisah Sangkuriang. Ketidaktahuan Oedipus dan
Sangkuriang yang tidak mengenali ayahnya menjadi kelemahan dari kedua tokoh
tersebut. Hal inilah yang menunjukkan terdapat pertalian diantara kedua teks.
Dengan alasan yang sama, mereka secara tidak sengaja membunuh ayahnya. Jika
diamati lebih dalam dari peristiwa yang terdapat pada kedua teks tersebut,
menunjukkan bahwa perilaku Inces (Pernikahan sedarah) terutama anak kandung
dengan Ibunya dapat dimungkinkan terjadi saat seorang Istri sudah tidak
memiliki suami. Kematian suami atau tokoh ayah pada kedua cerita ini sudah
sangat jelas tergambarkan menjadi latar belakang kesendirian seorang istri
dengan menyandang status janda.
Identitas menjadi suatu
hal yang penting saat dihadapkan pada kedua teks tersebut. Pada kisah Oedipus,
Ia tidak mengenali ayah kandungnya. Perselisihan yang terjadi antara tokoh anak
dengan ayahnya merupakan unsur ketidaksengajaan. Meninggalnya Laios, membuat
Lokaste menyandang status janda. Kesendirian ini pula lah yang mempertemukan
Oedipus dengan Lokaste. Pada kisah ini, terbunuhnya tokoh ayah, dikerenakan
tidak adanya hubungan yang saling mengenal diantara keduanya. Identitas yang
kabur dan mendahulukan keangkuhan, membuat perselisihan antara anak dan ayah
tidak dapat terhindarkan. Hal ini terdapat pada kutipan teks berikut :
Dalam perjalanannya ke Thebes,
dia tiba dipersimpangan tiga jalan dimana dia bertemu dengan kereta kuda yang
dikendarai oleh raja Laios. Laios memerintahkan Oedipus minggir dari jalan agar
keretanya dapat lewat, tetapi Oedipus tidak menurutinya. Oedipus tidak menenal
Laios saat itu, akan tetapi keduanya terlibat dalam pertikaian dan berhasil
dengan Oedipus membunuh Laios dalam perkelahian.
(Terdapat pada Insiden V)
Dalam
mitologi Sunda mengenai kisah Sangkuriang, identitas seorang ayah tidak mudah
diketahui oleh anaknya, mengingat ayahnya dalam wujud seekor anjing. Dalam
mitologi Sunda ini memiliki beberapa perbedaan dalam menggambarkan identitas
seorang ayah. Namun, memiliki pertalian dalam hal alur ceritanya, yakni tokoh
ayah sama-sama meninggal di tangan putranya sendiri. Tokoh Sangkuriang tidak
sengaja membunuh Si Tumang, yaitu ayahnya dalam wujudnya seekor anjing.
Identitas dalam wujud yang bebeda, yakni binatang dalam cerita ini dimunculkan.
Pada cerita-cerita daerah Nusantara, kekhasan dalam mengugunakan tokoh binatang
menjadi keunikan tersendiri. Hal-hal yang diluar akal sehat, seringkali
meliputi cerita-cerita daerah Nusantara. Hal ini justru menjadi hal yang
menarik dan menjadi sebuah ciri khas.
Selain tidak mengetahui
identitas ayah kandungnya yang berwujud seekor anjing, Sangkuriang juga
diliputi kemarahan, karena kekecewaannya pada Si Tumang yang merupakan ayahnya
tersebut. Adapun kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut di atas, adalah
sebagai berikut :
Karena kesal Sangkuriang
menakut-nakuti Si Tumang dengen panah, akan tetapi secara tak sengaja anak
panah terlepas dan Si Tumang terbunuh tertusuk panah.
(Terdapat pada Insiden VII)
1.3 Kisah Kasih Terlarang : Tokoh
Anak Yang Mencintai Ibu Kandungnya
Mencintai seorang Ibu utamanya dalam konteks
pasangan kekasih, tentunya hal ini tidak diperbolehkan di bagian Negara mana
pun di seluruh dunia. Ibu adalah seseorang yang melahirkan setiap anak di
dunia. Berdasarkan peranan dan jasanya, bahkan sering kali dalam mitologi
masyarakat Bali, seorang Ibu diibaratkan bagaikan bumi ‘pertiwi’, yakni dunia itu sendiri. Membahagiakan seorang Ibu adalah
tugas seorang anak sebagai suatu wujud bakti. Bakti kepada seorang ibu
menjadikan kejelasan hubungan seorang anak terhadap Ibu, terutama dalam konteks
ini adalah mengenai Ibu kandung. Dengan bakti, maka perasaan mencintai seorang
Ibu Kandung dalam konteks pasangan kekasih tentu saja sangat dilarang. Posisi
Ibu setara dengan Yang kita puja, dengan demikian perasaan cinta seperti yang
dimaksudkan di atas sudah tentu adalah ke nistaan dalam suatu keluarga.
Kisah Oedipus,
Sangkuriang, dan Prabu Watugunung menggambarkan, bahwa ketiga tokoh ini
mencintai Ibu kandungnya dalam konteks pasangan kekasih. Terwujudnya kisah
cinta antara tokoh anak dengan Ibu kandung pada ketiga cerita di atas
digambarkan memiliki pertalian. Namun, cara pengungkapan mengenai latar
belakang timbulnya jalinan cinta, bahkan pernikahan anatara kedua tokoh
memiliki alur yang berbeda. Pada kisah Oedipus, pertemuannya kembali dengan
Sang Ibu, yakni Lokaste dikarenakan Ia telah berhasil menduduki tahta kerajaan
ayahnya dahulu. Bersamaan dengan hal tersebut, dari kisah inilah pertemuan
tokoh Oedipus dengan Ibunya yang telah menjadi janda. Hubungan kisah kasih yang
terlarang ini pun terjadi dengan berakhir di Pelaminan, bahkan pernikahan itu
menghasilkan empat orang anak. Berikut kutipan teks cerita yang menunjukkan hal
tersebut di atas :
..karena berhasil membunuh
Sfinks, Oedipus diangkat menjadi raja Thebes dan juga dinikahkan dengan janda
raja Laios, yakni Lokaste. Mereka mempunyai empat anak : dua laki-laki,
Polineikes dan Eteokles dan dua anak perempuan, yaitu Antigone dan Imene..
(Terdapat pada Insiden VII)
Akhir hubungan dari
kisah kasih terlarang ini, diwujudkan dengan sikap Ibu kandung yang memisahkan
dirinya dari Oedipus dengan bunuh diri. Kematian menjadi pilihan tokoh Ibu
dalam kisah ini menyesali sikapnya tersebut dengan jalan menggantung dirinya.
Hal ini menunjukkan, bahwa memang hubungan asmara seorang anak dengan Ibu
kandungnya tidak diperbolehkan dan harus terpisahkan. Termasuk dengan jaan
kematian salah satu tokoh yang berkonflik. Berikut kutipan teks yan menunjukkan
hal tersebut :
Lokaste akhirnya mengetahui
identitas sebenarnya dari Oedipus, dia kemudian lari ke Istana dan menggantung
diri…
(Terdapat
pada Insiden X)
Pertemuan kembali tokoh
anak, yakni Sangkuriang dengan Ibu kandungnya yang masih saja terlihat cantik
menimbulkan benih asmara. Kisah kasih yang dijalin keduanya dalam konteks
hubungan pasangan kekasih. Hal inilah yang menunjukkan pertalian teks
Sangkuriang dengan kedua teks lainnya. Namun, Pada kisah ini sedikit berbeda
dengan dua cerita lainnya, yaitu pada kisah Oedipus dan Prabu Watugunung. Dalam
kisah Sangkuriang yang merupakan mitologi Sunda ini, hubungan asmara atau kisah
cinta terlarang itu tidak sampai ke Pelaminan. Hubungan antara tokoh anak
dengan Ibu kandungnya hanya sampai pada memadu kasih atau menjadi pasangan
kekasih saja. Tidak adanya alur yang menyatakan pernikahan setelah hubungan
mereka terjalin. Namun, uniknya kisah cinta terlarang dalam teks ini adalah
mengenai keinginan Sangkuriang yang masih saja kuat, bahkan keras kepala untuk
menikahi Ibu kandungnya. Padahal kebenarannya, bahwa Dayang Sumbi adalah Ibu
kandungnya telah diketahui oleh Sangkuriang. Justru pada kisah inilah
pelangaran batasan seorang anak dengan Ibu kandungnya amat besar dilanggar
dalam perwatakan dari tokoh Sangkuriang. Seperti yang digambarkan pada kutipan
teks berikut :
…walau demikian, Sangkuriang
tetap meaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi berusaha sekuat tenaga untuk
menolak. maka ia pun bersiasat untuk menentukan syarat pinangan yang tak mungkin
dipenuhi Sangkuriang…
(Terdapat pada Insiden XII)
Kisah kasih terlarang
dalam teks Sangkuriang mengalami sedikit kerumitan. Tidak hanya hubungan yang
tidak berhasil ke Pelaminan. Pengajuan syarat juga menjadi permainan alur dalam
kisah ini, sehingga membuat ceritanya semakin variatif dan menantang. Prasyarat
digunakan tokoh Dayang Sumbi untuk menghentikan hubungan asmara dengan anak
kandungnya sendiri. Mengenai prasayarat ini, juga terdapat di dalam teks Prabu
Watugunung. Hal ini menunjukkan kembali, bahwa pertalian teks se-rumpun dalam
konteks sastra Nusantara lebih banyak terjadi dengan budaya yang sama. Tokoh
Dayang Sumbi mengajukan prasyarat yang cukup sulit kepada Sangkuriang, guna
menggagalkan keinginan Sangkuriang untuk menikahinya. Berikut kutipan teksnya :
Dayang Sumbi meminta agar
Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan
membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
(Terdapat pada Insiden XII)
Pernikahan Sinta dan
Watugunung dianugerahi dua puluh tujuh anak. Pada bagian ini, cerita Prabu
Watugunung tidak jauh berbeda dengan kisah Oedipus yang juga memiliki anak dari
Ibu kandungnya sendiri. Hal inilah yang menunjukkan pertalian cerita anatara
mitologi Yunani dengan Mitologi dalam masyarakat Bali. Kesadaran akan sebuah
kesalahan karena telah menikahi anaknya, membuat Dewi Sinta melakukan suatu
cara agar dapat terpisah dari Prabu Watugunung. Pada insiden inilah terdapat
pertalian cerita dengan teks Sangkuriang. Cara untuk memisahkan diri dengan
anaknya dipilih sebagai jalan seorang Ibu untuk membenahi kesalahan tersebut
dan ingin menjunjung kebenaran. Hal teresebut di atas, terdapat dalam kutipan
teks berikut :
Manut
ring pikayunan Ida Dewi Sinta, yening Ida Sang Prabu Watugunung madik widiadari
saking suargan, janten pacang wenten yudha, Ida Sang Prabu Watugunung pacang
kaon, tur pastika sampun Ida Sang Prabu sane ngawawa raganidane pacang newata.
Punika anggen Ida jalaran mamasahang Ida Sang Prabu Watugunung.
(Terdapat pada Insiden VI)
Terjemahan
:
Berdasarkan niat Dewi Sinta,
yaitu jika Prabu Watugunung memperistri seorang bidadari yang berasal dari
Surga, hal itu pasti akan menimbulkan peperangan, sehingga Sang Prabu nantinya
akan kalah dan meninggal. Hal itulah yang dijadikan cara untuk memisahkannya
dengan Prabu Watugunung.
Kebenaran mengenai
pernikahan sedarah, apalagi anak dengan Ibu kandungnya dalam mitologi
masyarakat Bali merupakan sebuah dosa besar yang telah dilakukan. Hubungan
terlarang ini dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali juga diistilahkan
dengan ‘Gamya Gamana’. Terdapat pula
istilah dalam masyarakat Bali mengenai hal ini, yang disebut sebagai ‘ngaletehin gumi’ atau mengotori bumi
dalam konteks ke nistaan. Apabila hal ini terjadi di Masyarakat, maka hubungan
tersebut harus dipisahkan. Suatu daerah yang menjadi tempat peristiwa tersebut
terjadi juga harus dibuatkan upacara pacaruan
ageng ‘pembersihan secara
besar-besaran’ wilayah. Tokoh Dewa
Siwa menegaskan hal tersebut pada teks ini dalam dialognya terhadap Dewa Wisnu.
Berikut kutipan teksnya :
Buin
pidan je, tusing pesan dadi pianak nganten ngajak rerama. Ila-ila dahat, apaan
ento ngaletehin gumi, mamurug sesana panumadian…
(Terdapat pada Insiden IX)
Terjemahan :
Kapanpun, tidak diperbolehkan
seorang anak menikah dengan orangtuanya. Sangat berbahaya, karena hal tersebut
dapat mengotori dunia, menyalahi aturan dari kelahiran…
2.
Pertalian
di Luar Struktur Teks
2.1 Permaianan Teka-Teki : Menunjukkan Kecerdasan
Kecerdasan anatara
tokoh satu dengan lainnya dalam upaya mewujudkan estetika karya ditunjukkan
dalam teks cerita Oedipus dengan teks cerita Prabu watugunung. Dalam permainan
teka-teki yang ditemukan pada kedua teks tersebut di atas, menunjukkan adanya
pertalian teks. Hanya saja mengenai tokoh yang mengajukan pertanyaan dan soal
yang diajukan berdeda antara teks yang satu dengan yang lainnya.
Permaianan teka-teki
pada kisah Oedipus menjadi alasan pertemuan dengan tokoh Ibu kandungnya. Hal
ini menghubungan hubungan kasih terlarang diantara keduanya. Dalam kisah
Oedipus sebelum menduduki jabatan Ia harus mengalahkan Sfinks dalam adu
kecerdasan bermain teka-teki. Kecerdasaan Oedipus membuatnya berhasil menjawab
pertanyaan yang diajukan Sfinks, maka tahta kerajaan berhasil di dapatkan.
Permainan teka-teki antara tokoh Sfinks dengan tokoh Oedipus, juga terjadi pada
kisah Prabu Watugunung. Dalam kisah itu, permaianan teka-teki atau cecimpedan dilakukan oleh dua orang
tokoh, yaitu Dewa Wisnu dengan tokoh Prabu Watugunung. Hal ini menunjukkan
pertalian teks anatara keduanya. Namun, pada kisah Oedipus pemecahan teka-teki
berhasil diajukan oleh tokoh Sfinks dan dimenangkan oleh tokoh Oedipus. Inilah
yang membuat Oedipus naik tahta dan bertemu dengan ibunya. Berikut kutipan teks
yang menunjukkan hal tersebut :
…teka-tekinya adalah apa yang
berjalan dengan empat kaki di pagi, dua kaki di siang, dan tiga kaki di sore
hari? Oedipus menjawab Manusia : saat kecil, manusia berjalan dengan kaki dan
tangannya, saat dewasa berjalan dengan dua kakinya, dan saat tu berjalan dengan
tongkatnya. Setelah mendengar Oedipus menjawab dengan benar, maka Sfinks bunuh
diri..
(Terdapat pada Insiden VI)
Akan tetapi, permainan
teka-teki pada kisah Prabu Watugunung menjadi alasan kekalahan sekaligus
terpisahnya Watugunung dari Ibu Kandungnya. Hal ini mengakhiri hubungan
terlarang diantara keduanya. Pada kisah Prabu Watugunung, yang mengajukan
pertanyaan justru dari Watugunung, tetapi akhirnya dimenangkan oleh Dewa Wisnu.
Hal inilah yang membuat tokoh Watugunung dengan Ibunya, yaitu Dewi Sinta harus
terpisah, karena kekalahan menjawab teka-teki yang mengakibatkannya mendapat
hukuman kematian. Berikut kutipan kedua teks yang menunjukkan hal tersebut di
atas :
…
Sang Prabu ngamedalang cecimpedan sakadi puniki : “wente punyan-punyanan alit
tur maning lemet sakewanten mawoh mageng, sakewanten wenten taler
punyan-punyanan mageng mawoh alit, apike punika ? cecimpedan punika digelis
raris kacawis olih Ida Bhatara Wisnu, sakadi rumasa tan kahanan pikewuh. Sane
kabaos punyan-punyanan alit tur lemet inggih punika sumangka. Samaliha
punyan-punyanan mageng mabuah alit boya wantah sios bingin.
(Terdapat pada Insiden IX)
2.2 Bekas Luka Tokoh Anak : Sebuah Tanda “Yang” Mengungkapkan
Tanda selalu menjadi petunjuk yang
memudahkan seorang pembaca dalam memahami suatu cerita. Bekas luka bahkan
menunjukkan sebuah identitas dari tokoh anak pada ketiga teks tersebut sebagai
sebuah tanda. Bekas luka yang dialami ketiga tokoh juga menunjukkan pertalian
tersebut. Namun, pada kisah Oedipus, tanda bekas luka menjadi latar belakang
nama dari tokoh ini, yaitu Oedipus yang artinya ‘kaki bengkak’. Saat mengetahui
kematian tokoh Laios di tangan putranya sendiri, Ia kemudian memaku kakinya.
Penyiksaan tersebutlah yang menyisakan luka yang cukup mendalam kepada Oedipus.
Selanjutnya bekas luka, yakni kaki yang bengkak yang dialami Oedipus tidak
menjadi latar belakang terbukanya identitas Oedipus di depan Ibu kandungnya.
Justru keterengan dari seorang utusan dari Raja
Polibos lah yang mengungkapkan jati diri Oedipus. Berikut kutipan teks yang menunjukkan hal
tersebut :
Utusan itu juga
mengungkapkan bahwa Oedipus sebenarnya adalah anak angkat Polibos. Lokaste
akhirnya mengatahui identitas yang sebenarnya dari Oedipus…
(Terdapat pada
Insiden X)
Bekas
luka pada kisah Sangkuriang dengan Prabu Watugunung sama persis. Tokoh Ibu yang
memukul kepala anaknya dengan sendok, adalah pertalian teks yang dimaksudkan.
Sangkuriang yang kemudian pergi meninggalkan Ibunya karena peristiwa tersebut,
juga terjadi pada tokoh Watugunung. Sampai pada akhirnya bekas luka tersebut
menjadi tanda terungkapnya identitas tokoh anak. Berikut kutipan teks yang
menunjukkan hubungan dari kedua teks tersebut :
Saat Sangkuriang tengah bersandar
mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi
mengetahui, bahwa Sangkuriang adalah putranya dengan tanda luka di kepalanya,
bekas pukulan sendok Dayang Sumbi.
(Terdapat pada Insiden XII cerita
Sangkuriang)
Ritatkala
Sang Prabu Watugunung makolem ring Bale-balean, gelung kaprabone sampun
kagenahang. Duk punika Ida Dewi Sinta polih nyaksinin prabun Ida Sang Prabu.
Prajani maksyab Ida Dewi Sinta duaning wenten kanin rahat pisan lan kantun
biketnyane.
(Terdapat pada Insiden IV)
Terjemahan :
Pada saat Prabu Watugunung tidur
di Bale-balean, mahkota raja pun dilepaskannya dan sitaruhnya. Saat itu pula
Dewi Sinta melihat kepala Sang prabu. Teramat kaget Dewi Sinta karena terdapat
luka yang sangat lebar dan besar.
Bekas luka sebagai
sebuah tanda, nampak memiliki peranan yang sedikit berbeda pada cerita Oedipus.
Pada teks cerita Sangkuriang dengan Prabu Watugunung bekas luka sebagai tanda
menjadi pengungkap jati diri. Namun, pada kisah Oedipus, bekas luka sebagai
tanda menjadi latar belakang penamaan. Pada kedua kisah, yakni Sangkuriang
dengan Prabu Watugunung, bekas luka yang ditinggalkan seorang Ibu pada anaknya,
menunjukkan hubungan batin yang sesungguhnya lebih dekat anatara Ibu dan anak.
Konflik batin keduanya diadu dan digambarkan dengan kuat pada kedua teks cerita
yang serumpun itu.
2.3 Perilaku Incest : Membawa Bencana Pada Kehidupan Masyarakat
Perilaku Incest tidak diperbolehkan di seluruh dunia. Hal ini dianggap
sebagai sebuah penyimpangan terhadap norma-norma yang ada dalam tatanan
kehidupan manusia dalam konteks kepercayaan dan kegamaan. Mitologi Yunani pada
teks cerita Oedipus juga menunjukkan hal tersebut. Ketika pernikahan benar
telah terjadi, yakni antara seorang anak dengan Ibu kandung, maka bencana akan
segera ditimbulkan di daerah atau wilayah tempat peristiwa itu terjadi. Berikut
kutipan teks yang menunjukkan hal tersebut :
Bertahun-tahun
setelah perkawinan Oedipus dan Lokaste, suatu wabah menyerang Kota Thebes.
(Terdapat pada
Insiden VIII)
Incest
dalam kisah Oedipus yang menajdi mitologi Yunani nampaknya menjadi perwakilan
mengenai norma-norma yang berlaku dalah tatanan kehidupan masyarakat Bali.
Yunani dengan peradaban yang sedemikian maju, nyatanya memang tidak
memperbolehkan Inces tersebut terjadi di dalam masyarakat Yunani. kata /wabah/
pada rangkaian kalimat di atas menunjukkan, bahwa dampak perilaku Inces dalam
kehidupan masyarakat sangat berbahaya dan akan mendatangan kesengsaraan.
Perilaku Incest juga sangat tidak diperkenakan
terjadi dalam norma-norma kehidupan masyarakat Bali. Saat pernikahan yang sudah
terjadi anatara Prabu Watugunung dengan Ibunya, yaitu Dewi Sinta terjadi,
justru kesengsaraan dan penderitaan menyelimuti seluruh kerajaan. Yang
merasakan penderitaan tersebut justru masyarakat luas. Inilah sebuah kepercaan
dari suatu kelompok masyarakat, sehingga perilaku ini menjadi mitologi
masyarakatnya. Hal tersebut ditunjukkan pada kutipan teks berikut :
Para wadwane sami kasengsaran,
blabar agung nyabran rahina magejeran nenten papegatan. Sasihe sampun nyalah
masa, panese nyansan ngentak-entak, yadiastun sampun masaning sabeh.
Kasuen-suen jagat Gilingwesi nyangsan sayah…
(Terdapat pada Insiden II)
Terjemahan :
Seluruh mahluk hidup mengalami
kesengsaraan, banjir besar terjadi setia hari. Perputaran musim sudah tidak
tentu, bumi terasa semakin panas pada musim hujan. Lama-kelaman kerajaan
gilingwesi akan hancur…
Kata /sayah/ pada
kutipan teks di atas menunjukkan, bahwa perilaku Inces dalam kehidupan
masyarakat Bali dalam kisah Prabu Watugunung juga sangat tidak dibenarkan. Sayah,
berarti musnah atau hancur dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pelakunya
sendiri, tetapi semua mahluk yang ada dalam lingkungan tersebut. Peristiwa
seperti ini telah menjadi gambaran idiologi dari suatu masyarakat yang terbungkus
dalam cerita lisan, yang dalam hal ini menjadi sebuah mitologi.inilah yang
menjadi pertalian teks anatara mitologi Yunani dengan mitologi masyarakat Bali.
Dari kisah ini ada kesamaan idiologi masyarakatnya.
C.
Penutup
Kajian komparatif di atas hanyalah
salah satu dari sekian banyak reisterpretasi modern dari cerita-cerita
tradisional yang mengakakar kuat dalam kehidupan masyarakat sebagai sebuah
mitologi. Selanjutnya dapat digali kembali kreativitas dalam pengungkapan
sastra-sastra lisan seperti mitologi-mitologi yang terdapat di seluruh dunia.
Sejauh hasil analisis yang dilakukan, ,tragedi psikologis dan psilosofis
menjadi kandungan dari ketiga teks mitologi tersebut. Hal ini menunjukkan
posisi kebudayaan local yang masih hidup dalam budaya global. Namun,
membutuhkan penyesuaian dan pemahaman terhadap norma-norma yang digambarkan.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
Jakarta : Rineka Citra.
Couteau, Jean. 2014.
Makalah : Watugunung Mitos Tentang Waktu Yang Melampoi Waktu.
Dipresentasikan pada acara Rembug Sastra Purnama Badrawada di Pura Jaganatha.
Danandjaja, james.
1984. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta : PT. Temprint.
Palguna, Ida Bagus Made
Dharma. 1999. Dharma Sunya : Memuja dan
Meneliti Siwa. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
Kementrian Kebudayaan
dan Pariwisata. 2011. Multikulturalisme dan Integritas Bangsa. Jakarta :
Depertemen Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Ratna, Nyoman Kuta.
2010. Stilistika: Kajian Poetika Bahasa,
Sastra, dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti.
Sumardjo, Jakob., Sini, KM. 1991. Apresiasi
Kesusastraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Matthews, P.H. 1974.
Morphology : An Introduction to The Theory of Word Structure. London: Cambridge
University Press.
Ramlan, Prof. Drs. M.
1985. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriftif. Yogyakarta : CV. Karyono.
Simpen, I Wayan. 2009.
Morfologi : Sebuah Pengantar Ringkas. Denpasar : Udayana University Press.
Halliday, M.A.K. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks :
Aspek-Aspek Bahasa Dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Pudentia, MPSS, 1998. Metodologi Kajian
Tradisi Lisan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Sumarjo, Jakob.,Saini, KM. 1991.
Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hubungan incest sangat lazim di Iceland: Hubungan Seks Sedarah di Iceland
BalasHapus888Sport | Baccarat (888-789-9000) | Verified | Free Baccarat Rules
BalasHapus888Sport review. It has been certified worrione by the London Gambling 온카지노 Commission (GLC). To use the casino with our site we recommend the use of a Trustly One® 1xbet