PURA
GUNUNG KELOD : MITOS DAN REALITAS
TENTANG
TRAGEDI PENJUAL ‘GONG’
OLEH
:
LUH
YESI CANDRIKA,S,S.,dkk.
1.1 Pengantar
Desa Amed tidak
hanya menyuguhkan pesona alam laut yang indah kepada setiap orang yang datang
ketika berkunjung ke sana. Faktanya, di desa yang bertetangga dengan Tulamben
ini memiliki sebuah pura yang disakralkan oleh masyarakat setempat. Pura Gunung
Kelod merupakan salah satu pura yang terletak di desa Amed, kecamatan Kubu, Karangasem.
Pura ini terkadang oleh beberapa
masyarakat juga disebut sebagai Pura Gunung Kidul. Kata ‘kidul’ dalam bahasa Bali juga diartikan sebagai kelod (Selatan). Mengenai yang berstana
di pura ini, masyarakat menyebut beliau sebagai Ida Ratu Bagus Manik Subandar.
Sebuah nama yang unik dan jarang ditemukan di Bali.
Pembangunan pura
Gunung Kelod menggunakan konsep tri
mandala (tiga tingkatan), yang terdiri dari Jeroan, Jaba tengah dan Jabaan,
hanya saja bentuknya masih sangat sederhana. Menurut penuturan masyarakat
setempat, dulunya pura ini terdiri dari sebuah pelinggih saja yang tidak
menggunakan panyengker (pembatas
pagar). Namun, beberapa tahun yang lalu terjadilah sebuah fenomena yang membuat pelinggih
(tempat pemujaan) tersebut diterbangkan angin dan berputar-putar di angkasa. Berdasarkan
peristiwa tersebut, pada tahun 2011 pangempon pura dan masyarakat setempat
berinisiatif untuk memugar palinggih
dan bangunan pura dengan lebih baik. Warga menambahkan beberapa bangunan
lainnya, seperti bale panjang, bale gamelan, dan pelinggih lainnya. Bentuk
fisik pura yang baru berusia tiga tahun ini dihiasi beberapa ornamen yang
sederhana, dengan pelinggih utama yang menggunkan batu paras hitam.
Latar belakang cerita
dibangunnya pura ini, tidak begitu banyak masyarakat yang tahu. Terbukti dari beberapa
masyarakat, bahkan para pangempon
pura (warga yang mengurus pura) hanya melaksanakan ritual dan mempersiapkan dan
menghaturkan upakara (sarana upacara),
pada setiap piodalan (upacara) di
pura tersebut. Upacara di pura ini dilakukan setiap bulan purnama, pada sasih (bulan) yang kelima. Menurut
penuturan pangempon pura, bahwa warga yang datang untuk bersembahyang ke sana
berasal dari berbagai daerah di Bali. Pelaksanaan ritual dan upacara yang unik
seperti terdapatnya tradisi mencak (pencak) silat yang melibatkan hampir
sebagian besar warga yang datang bersembahyang ke sana. Tradisi ini merupan
satu dari tradisi unik lainnya dalam upaya penggalian yang lebih mendalam
mengenai kisah inimengenai Pura Gunung Kelod. Hal unik lainnya, bahwa pura ini
diampu oleh warga banjar Mertasari, Culik yang notabena merupakan pendatang di
desa Amed yang hanya berjumlah sepuluh kepala keluarga. Pengempon pura yang
berasal dari banjar Mertasari terebut merupakan keturunan Arya Tangkas Kori
Agung, yang berpusat di culik. Mereka sekaligus merupakan pemilik bukit tempat
dibangunnya pura Gunung Kelod.
Beberapa hal unik yang telah disebutkan di atas, sangat
terkait dengan cerita rakyat yang menjadi latar belakang didirikannya pura
Gunung Kidul tersebut. Sebuah cerita rakyat yang mengisahkan mengenai penyamaran para dewa
dalam misi kebudayaan merupakan landasan yang kuat dalam membangun kepercayaan
masyarakat terkait dengan keberadaan pura ini. Berdasarkan atas ciri-ciri
folklor¹ cerita rakyat yang berkembang di desa Amed mengenai asal-usul pura
Gunung Kelod ber-genre sebuah mitos.
Menurut Bascom, Mitos atau mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap
benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite di
Indonesia biasanya menceritakan alam semesta, para dewa yang berperan juga
sebagai tokoh kebudayaan (culture hero)
(1984 : 50-52).
Secara garis besar dari cerita yang
dikumpulkan, yakni bearawal dari datangnya
dua orang pedagang (yang dikatakan sebagai orang Bugis) ke daerah Amed dan
membawa gong untuk dijual. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan sorang warga
(yang merupakan leluhur warga banjar Mertasari). Percakapanpun terjadi, hingga
akhirnya menimbulkan kesalahpahaman dan mengakibatkan terbunuhnya salah satu
pedagang gong tersebut oleh luluhur warga banjar Mertasari. Kemudian, untuk
menebus kesalahan tersebut, maka di kuburkanlah mayat pedagang gong tersebut di
bukit tempat pura Gunung Kelod tersebut sekarang berdiri. Gong yang akan dijual
tersebut, kemudian diselamatkan dan disimpan di banjar Mertasari, Desa Culik.
Terdapat versi yang berbeda dari narasumber yang berbeda, bahwa sesungguhnya
pedagang gong ini adalah perwujudan dari Dewa yang sengaja datang ke Bali dan
pergi ke tempat tersebut.
Menurut beberapa narasumber cerita
secara turun temurun yang diwariskan oleh masyarakat peristiwa ini diperkirakan
terkait dengan penjajahan Bugis ke tulamben.
¹Folklor
merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
secara turun-temurun, dengan kolektif macam apa saja, secara tardisional dalam
versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, “Folklor Indonesia :
Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain”, 1984)
Bahkan, salah satu narasumber menyebut sebuah sumber
sejarah, yakni Babad Tulamben untuk menunjukkan kaitan dari kisah tersebut. Disebutkan
pula bahwa kisah ini diperkirakan terjadi antara masa pemerintahan Dalem
Segening dengan Dalem Di Made.
Apabila diamati dari fakta sejarahnya, pada
masa Dalem Sagening konflik antara Bali dengan Makasar tengah terjadi dalam
memperebutkan kembali daerah Sumbawa. Dalam buku “Sejarah Bali” disebutkan,
bahwa pada tahun 1616 Sulawesi melakukan pemberontakan dan merampas daerah
Bima. Dua tahun kemudian yakni pada tahun 1618, Makasar kembali merebut daerah
Sumbawa yang merupakan daerah kekuasaan Bali. Hingga pada akhirnya tahun 1625
terjadilah pertempuran hebat antara Bali melawan Makasar di Lombok yang
akhirnya dimenangkan oleh Bali. Setelah pemerintahan dilanjutkan oleh Dalem
Dimade, pemberontakan hebat kepada Makasar dan daerah lainnya seperti Lombok,
Sumba, Pasuruan, dan Blambangan terus dilakukan. Namun, akhirnya daerah-daerah
tersebut tidak lagi dapat ditaklukan (Nyoka, 1990 : 35-36). Berkaca pada
sejarah yang panjang dimasa lampau mengenai masa berkembangnya cerita ini
mungkin saja benar terjadi pada masa Dalem Sagening dengan Dalem Di Made,
karena interaksi antara Bali dengan Makasar cukup tinggi masa tersebut.
Sebagai sebuah cerita rakyat versi
yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, justru
menambah dan membuka wawasan dalam memahami kisah ini. Sehingga, persoalan
respon masyarakat mengenai kisah ini menjadi sangat penting untuk dicermati
dalam upacaya menggali kearifan lokal dan mengukuhkan kebudayaan dari suatu
kelompok masyarakat. Maka, untuk mengetahui sejauh mana fakta dan realitas mitos
pura Gunung Kelod berdasarkan cerita yang diketahui masyarakat setempat,
menjadi persoalan yang melandasi penelitian ini.
1.2 Subjek Analisis dan Perspektif
Fenomenologi
Subjek analisis
dari penelitian ini adalah mitos pura Gunung Kelod, Desa Amed, Kecamatan Kubu,
Karangasem. Dari enam narasumber yang diwawancarai, maka dipilihlah tiga orang
narasumber, yakni bapak Made Cekeb, Ni Wayan Daging dan Ibu Ayu Santi sebagai
narasumber utama dengan pertimbangan, karena ketiganya memberikan informasi
yang saling mendukung keutuhan cerita, sehingga manjadi satu kesatuan yang utuh
dalam upaya memahami mitologi ini. Dalam upaya menganalisis subjek ini,
informasi yang disampaikan oleh narasumber dengan generasi yang berbeda sangat
memudahkan peneliti melihat sejauh mana perkembangan pewarisan mitos ini dari
generasi ke genarasi. Ibu Ni Wayan Daging mewakili generasi tua sebagai pemberi
informasi mengenai mitos ini. Selanjutnya bapak Made Cekeb dan Ibu Ayu Santi
merupakan generasi selanjutnya yang juga menyampaikan informasi cerita yang
lebih komperhensif. Mengenai subjek ini sempat disinggung oleh narasumber,
bahwa pendokumentasian mengenai kisah pura ini belum pernah dilakukan.
Informasi ini sesuai dengan keberadaan pura Gunung Kelod pasca dipugar yang
baru berusia tiga tahun, walaupun palinggihnya
memang sudah ada semenjak zaman dahulu.
Penelitian
ini bertitik tolak pada konsep perspektif fenomenologi. Berdasarkan sudut
pandang dari adanya sebuah fenomena atau kejadian pembunuhan tersebut,
melahirkan sebuah keyakinan di tengah-tengah kelompok masyarakat tertentu.
Realitas menjadi dasar penelitian ini, yakni fenomenologi sebagai sebuah
wawasan filosofi (epistemology), artinya data folklor harus dianalisis
berdasarkan fenomena yang muncul, sehingga pemaknaan folklor tersebut harus
didasarkan atas realitas itu sendiri (Endraswara, 2008: 91). Salah satu gagasan
terpenting dari paradigma fenomenologi yang menjadi landasan pemikiran dalam
penelitian kualitatiif adalah dengan memandang realitas sosial, fakta sosial
atau fenomena sosial yang menjadi masalah didalam penelitian. Menurut paradigma
fenomenologi bahwa realitas itu tidak semata-mata bersifat tunggal, objektif,
terukur, dan dapat ditangkap oleh pancaindera sebagaimana pandangan dari
paradigma positivisme.
Perspektif
fenomenologis yang tidak lepas dari realitas baik secara individu maupun kolektif
sangat relevan digunakan dalam penelitian ini. Berawal dari adanya fenomena
pembunuhan yang tidak disengaja dan dikarenakan kesalah pahaman, membuat
perubahan yang berarti terhadap folk-nya
(kelompok masyarakat dengan ciri pengenal fisik, kebudayaan yang sama). Dari
fenomena tersebut, menimbulkan kesadaran untuk mempertanggungjawabkan
perilakunya dengan mengadakan upacara penguburan yang baik dan layak, serta
mendirikan sebuah palinggih.
Pembangunan palinggih tersebut
dilakukan sesuai dengan amanat seorang Jero
Dasaran (orang pintar) yang meramal kejadian tersebut dari perspektif
spiritual-magis. Masyarakat Bali menyebut dengan istilah nunas baos (mohon petunjuk). Didasarkan pada petunjuk inilah
fenomena yang terjadi terwujud dalam sebuah realitas, yakni peristiwa tersebut
sebagai landasan membangun keyakinan untuk mendirikan pura Gunung Kelod.
Realitas lainnya juga
terkait dengan keberadaan ‘gong’ yang hingga saat ini ada di banjar Mertasari,
Culik dan disungsung oleh
masyarakatnya. Realitasnya, tidak hanya masyarakat banjar Mertasari yang
meyakini dan sembahyang ke pura tersebut, bahkan masyarakat yang datang dan
bersembahyang ke sana juga berasal dari berbagai daerah di Bali.
1.3 Pemilik Folklor : Tradisi dan
Kolektivitas
Pemilik folklor dari mitos Pura
Gunung Kelod (Kidul) ini adalah masyarakat banjar Mertasari, Desa Culik,
Karangasem. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, leluhur dari masyarakat
banjar ini merupakan keturunan Arya
Tangkas Kori Agung. Sedikit menyinggung mengenai keturunan Arya Tangkas Kori
Agung yang termuat dalam Babad Kanuruhan disebutkan bahwa, riwayat ini digali mulai dari adanya kcrajaan Kediri, yang
kemudian di lanjutkan dengan berdirinya kerajaan Singosari dan Majapahit,
Expedisi (Gajah Mada ke Pulau
Bali, yang diperintah oleh Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, dengan Maha
Patihnya yang bernama Ki Pasung Grigis, membawa suatu hikmah tersendiri
terhadap perkembangan Warga yang berada di pulau Bali.Setelah beberapa lama
maka Gajah Mada mengirim raja ke Bali yaitu Kresna Kepakisan dengan bersetana
di Samprangan. Setelah berhasilnya pemerintahan Sri Kresna Kepakisan maka
masing - masing Arya diangkat menjadi Menteri atau Punggawa. Di dalam beberapa
naskah menyebutkan bahwa Arya Kanuruhan mendapat tugas di Tangkas, dan Arya
inilah yang mendirikan tempat pemujaan di Desa Tangkas, guna memuja leluhur
mereka yang ada di Tanah Jawa, yang kemudian menjadilah Pura Kawitan Tangkas
Kori Agung sekarang. Maka Arya Kanuruhan, merupakan peletak batu pertama di
Pura Kawitan Tangkas.
Apabila
diselusuri berdasarkan pada keturunan warga banjar Mertasari tersebut, maka
jelaslah masyarakat ini dapat digolongkan dalam masyarakat Bali Dataran. Masyarakat Bali dibedakan menjadi dua, yakni
Bali Aga dan Bali Dataran. Masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat Bali yang
leluhurnya merupakan orang Bali Asli yang hidup dan menetap di Bali. Sesuai
denan tipografi desa yang berada di pesisir pantai, mata pencaharian, sebagaian
besar penduduknya adalah nelayan, petani garam, berternak, dan berladang.
Seluruh pekerjaan tersebut dijalakan oleh masyarakat banjar Mertasari dengan
menyesuaikan keadaan alam atau cuaca. Pada masa kemarau panjang, maka usaha
menjadi petani garam memberikan pemasukan yang cukup untuk mereka, demikian
juga dengan pekerjaan untuk melaut. Namun, apabila musim hujan datang, maka
mereka lebih memilih untuk berternak dan berladang. Banyaknya pekerjaan yang
dapat dilakukan oleh masyarakat banjar Mertasari menunjukkan tidak ada
pekerjaan tetap yang dijalankan oleh masyarakatnya. mengenai mata pencaharian,
menurut wawancara sangat terkait dengan peristiwa sejarah yang terjadi.
Disebutkan, bahwa pada tahun 1700an pada masa pemerintahan raja karangasem,
yakni Raja Dimade pergeseran klen yg jg terjadi sebagai pengaruh peristiwa
Tulamben. Persebaran klen mulai pada zaman
pemerintahan Dalem Waturenggong terdapat klan Pasek, Tangkas, Pegatepan
dan lain-lain. Persebran klen tersebut cenderung menjadikan nelayan sebagai perkerjaan
utama yang digeluti pada klen masing-masing. Walaupun mereka merantau dan
menyebar ke wilayah lain (masyarakat Tulamben, Datah, Culik, dan lain-lain)
masih menjadi bagian dari desa pakramannya masing-masing
Tidak jauh berbeda
dengan sebelas kepala keluarga banjar Mertasari yang tinggal di desa Amed.
Pekerjaan mereka tidak jauh berbeda, bahkan khusus untuk pekerjaan bertani
garam, mereka mampu menghasilkan kualitas garam yang baik. Kualitas garam yang
baik juga tentu didorong oleh proses pembuatan yang baik pula. Proses pembuatan
garam tersebut sering disebut masyarakat setempat dengan ‘nguyahin’.Kata ‘nguyahin’
berasal dari urat kata ‘uyah’ yang
artinya garam. Menurut penuturan bapak Made Cekeb, proses pembuatan garam di
desa Amed ini mendapatkan simpati dari peneliti asing terutama tentang
kandungan manfaat garam. Bersinerginya masyarakat pendatang (masyarakat banjar
Mertasari) dengan masyarakat desa Amed, membawa dampak yang positif dalam upaya
perputaran perekonomian di desa Amed.
2.4
Versi yang Berbeda: Keragaman Sambutan Masyarakat terhadap Mitos ‘Pura Gunung
Kelod”
Merujuk pada folklor
yang paling benar atau dikatakan sebagai ‘yang’ paling asli hampir tidak ada.
Fakta yang ada mengenai sebuah data adalah versinya yang tidak akan sama.
Sambutan masyarakat terhadap sebuah cerita rakyat, cenderung berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang kemudian membentuk versi ceritanya
sendiri. Endraswara menyatakan, bahwa dalam kenyataannya tidak ada bahan-bahan
folklor yang asli. Folklor yang dikumpulkan merupakan versi dari suatu bentuk
folklor, yang aslinya tidak dapat dicari lagi. Setiap versi dianggap sah,
asalkan sembernya jelas dari mana, oleh siapa dan dari zaman apa (2002 : 106).
Versi cerita yang
berbeda di masyarakat, sangat terkait dengan latar belakang sosial seseorang
yang merespon keberadaan cerita tersebut. Pada wawancara yang dilakukan pertama
kali, yakni pada bapak Made Cekeb (warga desa Amed). Informasi yang diperoleh mengenai mitos Pura
Gunung Kelod bersifat historis yang terkait dengan Babad Tulamben. Penjajahan
Makasar ke Bali yang konon terjadi di Tulamben, sempat disinggung sebagai awal
penceritaan mengenai kisah ini. Menurut penuturan bapak Made Cekeb kisah ini
diawali dari masa Dalem Sagening, yakni terjadinya pemberontakan orang-orang Bugis,
yang ingin menguasai Tulamben, kisah inipun dibenarkan dalam Babad Tulamben.
Terjadinya perang antar orang Bugis dgn orang Tulamben direfleksikan dalam
upcara di desa Mrita dengan tradisi wong
prahu, dan bedil-bedilan.
Kisah mengenai kedatangan bugis tersebut menjadi pengantar penceritaan bapak
Made Cekep. Selnjutnya, barulah penceritaan dilanjutkan mengenai kisah penjual
gong dan diakhiri dengan pendirian Pura Gunung Kelod.
Sambutan atas
keberadaan kisah ini oleh ibu Ayu Santi, memiliki versi yang sedikit berbeda.
Ibu Ayu (warga asli banjar Mertasari sekaligus pangempon pura) merupakan
seorang dasaran ‘orang pintar dalam
agama Hindu’. Informasi yang diperoleh mengenai mitos Pura Gunung Kelod lebih
bersifat spiritual-magis. Tokoh-tokoh yan terdapat dalam cerita tersebut
berkaitan dengan keberadaan dewa-dewi atau perwujudaannya. Menurut penuturan
ibu Ayu Santi, kisah ini diawali dari terdapatnya pimpinan kapal bernama
Subandar yang merupakan penyamaran Raden Mas Leo, yang merupakan saudara (adik)
dari Raden Ratu Kanjeng Pantai Selatan tau Ratu Kidul (yang sering
disebut-sebut sebagai ratunya dari pantai selatan). Ayah keduanya merupakan
Ratu Ning Segara atau Bhatara Baruna (Penguasa Lautan). Selanjutnya pada bagian
tengah cerita hamper tidak ada perbedaan dengan sumber yang sebelumnya. Hingga
pada bagian akhir cerita Ibu Ayu menjelaskan, bahwa tujuan penyemaran Raden MAs
Leo menjadi pedagang gong dan terjadilah peristiwa tersebut adalah untuk
mengajegkan Bali. Secara sederhana menurut petunjuk yang ia dapatkan secara
gaib, bahwa : “Mangda wenten sane uning
taler nyungsung Ida, sane mapesengan Bhatara Subandar” (Agar ada yang tahu
dan memuja beliau, dengan nama Bhatara Subandar).
Informasi lainnya yang
diperoleh dari seorang nenek yang bernama Ni Wayan Daging menganggap cerita ini
berasal dari Jawa. Diceritakan berawal dari ada yang membawa gong orang bertemu
dengan penglingsir banjar Mertasari. Ni Wayan Daging mencra deritakan bagian
awal sampai akhir secara detail. Misalnya mengenai senjata yang dibawa oleh
penjual gong, yaitu membawa golok dan senjata yang dibawa oleh leluhur mereka
dengan membawa pengutik. Selain itu, mengenai masalah waktu kematian tokoh. Nenek
yang berusia kira-kira 70 tahun ini sangat lantang mengatakan setelah satu
bulan tujuh hari pasca kematian tersebut, leluhur mereka kemudian menanyakan
kejadian itu kepada dasaran ‘orang
pintar’. Penceritaan yang polos dan sederhana dijelaskan nenek dengan tiga
orang putra tersebut. Informasi yang ia sampaikan, diakui diperoleh secara
turun-temurun dari orangtuanya. Pemahaman mengenai sejarah, maupun berkenaan
dengan hal spiritual tidak begitu ditekankan. Struktur cerita yang mudah
dimengerti menjadi cara tersendiri oleh Ni Wayang Daging ketika menuturkan
cerita ini.
2.3 Sumber Data
Pemerolehan
data mengenai mitos Pura Gunung Kelod menggunakan metode wawancara dengan
teknik merekam. Selanjutnya data di transkripsi dan disajikan secara
formal. Keragaman versi cerita yang
didapatkan, tidak mampu memecah keyakinan masyarakat mengenai keberadaan mitos
Gunung Kelod tersebut. Data tersebut terdiri dari beberapa versi cerita. Masyarakat
yang berlatarbelakang sipil dengan masyarakat yang berlatar agamais, menjadi
dua aspek penting dalam pemerolehan data. Mengamati data dari sudut pandang
masyarakat umum, dengan dasar interaksi sosial yang tinggi, mengarahkan data
penelitian ini lebih bersifat logis dengan merunut pada fakta-fakta
kesejarahan. Namun, pada data yang lainnya, mengarahkan penelitian ini untuk
mengungkapkan hakikat yang lebih mendalam mengenai keberadaan mitologi
tersebut, sehingga mengarahkan pada hal-hal yang bersifat religius-magis. Yang
pada akhirnya mengarahkan pada keyakianan secara spiritual.
Data yang pertama
berasal dari bapak Made Cekeb.
Berikut sinopsis cerita yang disampaikan : Pada masa Dalem Sagening
diperkirakan terjadi pemberontakan dari orang-orang Bugis, yang ingin menguasai
Tulamben, yang juga terdapat pada babad Tulamben. Terjadi perang antar orang
Bugis dengan orang Tulamben. Refleksi kejadian
ini dilakukan dalam upacara di desa Mrita yang dilakukan melaui tradisi
wong prahu, dan bedil-bedilan. Diawali dari dua orang masyarakat Bugis yg
membawa gong untuk dijual. Akhirnya karena penduduk kesal melihat keberadaan
orang Bugis tersebut yang menjual gong, masyarakat Mertasari Culik penjual gong
tersebut, diambilah gong tersebut. Orang yg membunuh kedua masyarakat Bugis
tersebut dengan seluruh keturunannya mengalami kesengsaraan. Akhirnya karena
ketakutan, keturunannya mencari orang pintar (balian). Akhirnya diketahuilah,
bahwa penyebab kesengsaraan dari keluarga tersebut adalah karena peristiwa
perampasan gong yang dilakukan. Ia pun menanyakan menganai usaha yang bisa
diupayakan agar bisa menghilangkan kesengsaraan di keluarganya. Kemudian
dimintalah agar dibuatkan pura untuk menebus kesalahan tersebut. Mengenai
pelaksanaan upacara di pura tersebut nmerupkan seolah refleksi misalnya tarian
bugis yang ditampilkan, pencak silat “seperti kerangsukan”. Seolah budaya yg
ditampilakan dalam tradisi upacara ini merefleksikan budaya Bugis.
Selanjutnya
berikut sinopsis cerita menurut versi ibu Ayu
Santi : Ada pimpinan kapal bernama Subandar yang merupakan penyamaran Raden
Mas Leo, yang merupakan saudara dari Raden Ratu Kanjeng Pantai selatan ayahnya
merupakan Ratu Ning Segara atau batara Baruna. Tujuan kedatangan beliau adalah
untuk mengajegkan Bali. Gongya direbut oleh penglingsir tanpa dibayar.
Masyarakat disana meyakini hari anggara (selasa) merupakan hari keramat,
sehingga hari anggara itu dihapus oleh masyarakat penyungsung pura klod. Karena
hari angara itu selalu diakaitka dengan musibah, tetapi ibu ayu santi ini
melanggar. Menurut beliau piodalanya pada sasih kelima, dengan aliran siwa
Budha, karena salah satu dari mereka berasal dari warga pang dan satunya lagi
berasal dari Jawa. Menurut ibu ayu santi keduanya dibunuh kemudian dimakamkan
di areal berdirinya pura Gunung Klod. Piodalanya ring purnama katiga sasih
kelima. Penyamaran beliau ketika turun ke bumi biasanya menggunakan peci.
Kematiannya
dalam samaran. Tujuan penyamaran beliau adalah untuk menyatukan diri dengan
saudaranya, yang ada kaitanya dengan pantai selatan, yang bernama betara bagus
manik subandar. Di bungaya, beliau berstana bernama betara bagus mas slonding
dan juga di daerah Lombok. Di Sanur Beliau bernama Raden Mas Leo. Di sanur
merupakan awal pertamanya beliau turun ke Bali. beliau sering dianggap sebagai
dewanya harta benda atau kekayaan. Jadi gong itu disimbulkan sebagai alat
penyatuan masyarakat. Rencana awalnya gong tersebut akan ditaruh di kerajaan
Lombok. Kenyataan benda yang berupa gong benar-benar ada. Sarana upakara yang
digunakan tidak menggunakan daging babi, sehingga dikatakan muslim. Hal ini
karena di Jawa ia menganut kepercayaan Islam. Kepercayaan muslim itu dikenal
dengan istilah bali jawa. Masyarakat merta sari pada zaman dulu tidak merayakan
atau menghaturkan upakara pada hari anggara kasih. Hal ini karena kepercayaan
dan keyakinan masyarakat mengenai cerita tersebut.
Data yang
terakhir adalah berdasarkan wawancara dengan ibu Ni Wayan Daging. Berikut informasinya : Diceritakan berawal dari terdapat
dua orang penjual gong yang bertemu dengan penglingsir banjar meta sari di
peuyahan. Waktu kejadian diperkirakan jam 5 sore. Kemuadian ditanyalah kedua
orang bugis itu oleh penglisir tersebut “Jero2
kal kija jerone ngaba gong, yening kel adol tiang sane numbas, iringang mangkin
tiang ke culik”. Kedua belak pihak baik itu maysarakat Bugis atau Mertasari
bersikap bimbang dan ragu. Orang Bugis tersebut bersenhjatakan golok sedangkan
penglingsir mertasari bersenjatakan pengutik. Karena ketakutan penglingsir
mertasari terlebih dahulu menyerang dengan pengutiknya. Sedangkan rekanya lari
tidak tahu kemana dan menghilang, karena ketakutan penglingsir mertasari
memukul kentongan untuk mengumpulkan keluarga dan meminta saran. Satu bulan
tujuh hari setelah peristiwa tersebut dicarilah balian atau sedahan ‘orang
pintar’ ke manggis. Disebutkalah orang yang berasal dari jawa tersebut ingin
disungsung oleh masyarakat Bali., dengan sebutan Ida Ratu Bagus Manik Subandar
yang merupakan orang sakti dari pulau Jawa, masyarakat sering menyebutnya
sebagai Dewa Perahu.
2.6 Fakta dan Realitas Mitos Gunung
Kelod
Fakta historis secara tertulis
mengenai kaitan penjajahan masyarakat Bugis ke Tulamben yang didasarkan pada
Babad Tulamben. Fakta fisik (artefak), yakni keberadaan ‘Gong’ (alat musik yang
terbuat dari tembaga) yang masih disimpan di Br. Merta Sari, Culik dan sesekali
diusung menuju pura Gunung Kelod. Selain itu, dibangun pula palinggih ‘tempat berstana’ Bhatara
Manik Subandar. Nama Subandar menjadi perhatian yang menarik sekaligus
mendekati ciri budaya Bugis tersebut. Demikian pula dengan fakta empiris, yakni
pelaksanaan upacara pada saat piodalan
‘ritual upacara’ di Gunung Kelod yang menunjukkan ciri-ciri budaya Bugis, yakni
dengan keberadaan tradisi pencak silat.
Realitas yang terjadi
di masyarakat dengan keberadaan Mitologi ini, yakni tidak hanya masyarakat Br. Merta
Sari, Culik yang melakukan pemujaan di pura tersebut. Namun, masyarakat lainnya
yang ada di areal pura memiliki keyakinan yang sama. Pada mulanya, hanya
dibangun sebuah pelinggih biasa di areal Gunung Kelod. Pada kira-kira tiga
tahun yang lalu, pangempon ‘yang mengurus’ pura dan masyarakat setempat
mendirikan bangunan pura dengan konsep Tri Mandala, yakni terdapat jeroan, jaba
tengah, dan jaba. walaupun masih dengan bangunan dan bentuk yang sangat sederhana.
Hal ini menunjukkan realitas yang terjadi pada masyarakat terhadap keberadaan
mitologi ini menjadi sangat kuat. Apalagi penentuan pelaksanaan pujawali
‘upacara’ di pura tersebut disepakati pada purnama ketiga dalam perhitungan
sasih kalima ‘bulan kelima’. Para pamedek yang datang untuk melakukan pemujaan
berasal dari berbagai tempat di Bali. Hanya saja, mengenai mitologi yang
melatarbelakangi pendirian pura ini tidak banyak orang yang tahu.
Pelaksanaan piodalan di
pura Gunung Kelod dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pada saat pujawali,
masyarakat yang medek (datang dan
bersembahnyang di sana) bisa dari berbagai daerah karena ini terkait dengan
nilai rasa, tatwa susila. Namun, mengenai upakaranya tidak merefleksikan peristiwa
tersebut. Konteks budaya dalam ritual upacara di pura tersebut sama dengan
kejadian pada mitologi ini. Rangkaian acara lainnya terkait dengan tradisi ini,
yakni ketika piodalan tersebut gong dibawa dari banjar Mertasari ke pura Gunung
Kelod. Ketika rangkaian upacara selesai gong dikembalikan ke banjar Mertasari yang
diiringi oleh semua pengikutnya. Bhtara
yang disungsung disebut sebagai. Prilaku pamedek
pada saat upacara melakukan tradisi mencak (pencak silat). Tradisi ini melibatkan
hampir sebagian besar pamedek
yg hadir pada saat pelaksaana upacara tersebut. Ada satu pelinggih yang
unik yang disebut dengan pelinggihan Bhatara
Sabandar atau Subandar yang merupakan perwujudan tokoh penjual gong, yang
melakukan penyamaran. Keberadaan palinggih
ini hampir sama dengan yang ada di Batur. Berdasarkan hal tersebut, agaknya
sangat penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut, guna perkembangan ilmu
pengetahuan mengenai kebaradaan pura-pura di Bali yang sangat banyak dan
memberikan informasi kepada masyarakat megenai asal-usul pura-pura yang ada di
Bali.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta : Yogyakarta Press.
Danandjaja, james. 1984. Folklor
Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta : PT. Temprint.
Nyoka. 1990. Sejarah Bali. Denpasar
: Percetakan Bali.
Pudentia,
MPSS, 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
https://sites.google.com/site/dadyatangkas/babad
http://mudiartana.blogspot.com/2010/03/sejarah-desa-culik.html
LAMPIRAN
I (NARASUMBER)
Nama :
I Made Cekeb
TTL :
Abang, 1962
Alamat :
Amed, Karangasem
Pekerjaan : PNS (Dinas Kebudayaan Amlapura)
Nama :
Ayu Santi
TTL :
Karangasem, 1985
Alamat :
Amed, Karangasem
Pekerjaan : Dasaran
Nama :
Ni Wayan Bugbug
TTL :
Culik, 1956
Alamat :
Amed, Karangasem
Pekerjaan : Petani Garam (sekaligus pangempon pura)
Nama :
Ni Wayan Daging
TTL :
Culik, 1950
Alamat :
Amed, Karangasem
Pekerjaan : Pangempon pura
Nama :
I Wayan Resen
TTL :
Culik, 1953
Alamat :
Amed, Karangasem
Pekerjaan : Petani garam (sekaligus pangempon pura)
Nama :
Ni Wayan Merti
TTL :
Amed, 1987
Alamat :
Amed, Karangasem
Pekerjaan : Pegawai Penginapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar