Senin, 08 Desember 2014

PURA GUNUNG KELOD : MITOS DAN REALITAS
TENTANG TRAGEDI PENJUAL ‘GONG’
OLEH :
LUH YESI CANDRIKA,S,S.,dkk.

1.1  Pengantar

Desa Amed tidak hanya menyuguhkan pesona alam laut yang indah kepada setiap orang yang datang ketika berkunjung ke sana. Faktanya, di desa yang bertetangga dengan Tulamben ini memiliki sebuah pura yang disakralkan oleh masyarakat setempat. Pura Gunung Kelod merupakan salah satu pura yang terletak di desa Amed, kecamatan Kubu, Karangasem.  Pura ini terkadang oleh beberapa masyarakat juga disebut sebagai Pura Gunung Kidul. Kata ‘kidul’ dalam bahasa Bali juga diartikan sebagai kelod (Selatan). Mengenai yang berstana di pura ini, masyarakat menyebut beliau sebagai Ida Ratu Bagus Manik Subandar. Sebuah nama yang unik dan jarang ditemukan di Bali.
Pembangunan pura Gunung Kelod menggunakan konsep tri mandala (tiga tingkatan), yang terdiri dari Jeroan, Jaba tengah dan Jabaan, hanya saja bentuknya masih sangat sederhana. Menurut penuturan masyarakat setempat, dulunya pura ini terdiri dari sebuah pelinggih saja yang tidak menggunakan panyengker (pembatas pagar). Namun, beberapa tahun yang lalu terjadilah sebuah fenomena yang  membuat pelinggih (tempat pemujaan) tersebut diterbangkan angin dan berputar-putar di angkasa. Berdasarkan peristiwa tersebut, pada tahun 2011 pangempon pura dan masyarakat setempat berinisiatif untuk memugar palinggih dan bangunan pura dengan lebih baik. Warga menambahkan beberapa bangunan lainnya, seperti bale panjang, bale gamelan, dan pelinggih lainnya. Bentuk fisik pura yang baru berusia tiga tahun ini dihiasi beberapa ornamen yang sederhana, dengan pelinggih utama yang menggunkan batu paras hitam.
Latar belakang cerita dibangunnya pura ini, tidak begitu banyak masyarakat yang tahu. Terbukti dari beberapa masyarakat, bahkan para pangempon pura (warga yang mengurus pura) hanya melaksanakan ritual dan mempersiapkan dan menghaturkan upakara (sarana upacara), pada setiap piodalan (upacara) di pura tersebut. Upacara di pura ini dilakukan setiap bulan purnama, pada sasih (bulan) yang kelima. Menurut penuturan pangempon pura, bahwa warga yang datang untuk bersembahyang ke sana berasal dari berbagai daerah di Bali. Pelaksanaan ritual dan upacara yang unik seperti terdapatnya tradisi mencak (pencak) silat yang melibatkan hampir sebagian besar warga yang datang bersembahyang ke sana. Tradisi ini merupan satu dari tradisi unik lainnya dalam upaya penggalian yang lebih mendalam mengenai kisah inimengenai Pura Gunung Kelod. Hal unik lainnya, bahwa pura ini diampu oleh warga banjar Mertasari, Culik yang notabena merupakan pendatang di desa Amed yang hanya berjumlah sepuluh kepala keluarga. Pengempon pura yang berasal dari banjar Mertasari terebut merupakan keturunan Arya Tangkas Kori Agung, yang berpusat di culik. Mereka sekaligus merupakan pemilik bukit tempat dibangunnya pura Gunung Kelod.
Beberapa hal unik yang telah disebutkan di atas, sangat terkait dengan cerita rakyat yang menjadi latar belakang didirikannya pura Gunung Kidul tersebut. Sebuah cerita rakyat yang  mengisahkan mengenai penyamaran para dewa dalam misi kebudayaan merupakan landasan yang kuat dalam membangun kepercayaan masyarakat terkait dengan keberadaan pura ini. Berdasarkan atas ciri-ciri folklor¹ cerita rakyat yang berkembang di desa Amed mengenai asal-usul pura Gunung Kelod ber-genre sebuah mitos. Menurut Bascom, Mitos atau mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite di Indonesia biasanya menceritakan alam semesta, para dewa yang berperan juga sebagai tokoh kebudayaan (culture hero) (1984 : 50-52). 
Secara garis besar dari cerita yang dikumpulkan, yakni bearawal dari  datangnya dua orang pedagang (yang dikatakan sebagai orang Bugis) ke daerah Amed dan membawa gong untuk dijual. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan sorang warga (yang merupakan leluhur warga banjar Mertasari). Percakapanpun terjadi, hingga akhirnya menimbulkan kesalahpahaman dan mengakibatkan terbunuhnya salah satu pedagang gong tersebut oleh luluhur warga banjar Mertasari. Kemudian, untuk menebus kesalahan tersebut, maka di kuburkanlah mayat pedagang gong tersebut di bukit tempat pura Gunung Kelod tersebut sekarang berdiri. Gong yang akan dijual tersebut, kemudian diselamatkan dan disimpan di banjar Mertasari, Desa Culik. Terdapat versi yang berbeda dari narasumber yang berbeda, bahwa sesungguhnya pedagang gong ini adalah perwujudan dari Dewa yang sengaja datang ke Bali dan pergi ke tempat tersebut.
Menurut beberapa narasumber cerita secara turun temurun yang diwariskan oleh masyarakat peristiwa ini diperkirakan terkait dengan penjajahan Bugis ke tulamben.
 


¹Folklor merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, dengan kolektif macam apa saja, secara tardisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, “Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain”, 1984)
Bahkan, salah satu narasumber menyebut sebuah sumber sejarah, yakni Babad Tulamben untuk menunjukkan kaitan dari kisah tersebut. Disebutkan pula bahwa kisah ini diperkirakan terjadi antara masa pemerintahan Dalem Segening dengan Dalem Di Made.
 Apabila diamati dari fakta sejarahnya, pada masa Dalem Sagening konflik antara Bali dengan Makasar tengah terjadi dalam memperebutkan kembali daerah Sumbawa. Dalam buku “Sejarah Bali” disebutkan, bahwa pada tahun 1616 Sulawesi melakukan pemberontakan dan merampas daerah Bima. Dua tahun kemudian yakni pada tahun 1618, Makasar kembali merebut daerah Sumbawa yang merupakan daerah kekuasaan Bali. Hingga pada akhirnya tahun 1625 terjadilah pertempuran hebat antara Bali melawan Makasar di Lombok yang akhirnya dimenangkan oleh Bali. Setelah pemerintahan dilanjutkan oleh Dalem Dimade, pemberontakan hebat kepada Makasar dan daerah lainnya seperti Lombok, Sumba, Pasuruan, dan Blambangan terus dilakukan. Namun, akhirnya daerah-daerah tersebut tidak lagi dapat ditaklukan (Nyoka, 1990 : 35-36). Berkaca pada sejarah yang panjang dimasa lampau mengenai masa berkembangnya cerita ini mungkin saja benar terjadi pada masa Dalem Sagening dengan Dalem Di Made, karena interaksi antara Bali dengan Makasar cukup tinggi masa tersebut.
Sebagai sebuah cerita rakyat versi yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, justru menambah dan membuka wawasan dalam memahami kisah ini. Sehingga, persoalan respon masyarakat mengenai kisah ini menjadi sangat penting untuk dicermati dalam upacaya menggali kearifan lokal dan mengukuhkan kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat. Maka, untuk mengetahui sejauh mana fakta dan realitas mitos pura Gunung Kelod berdasarkan cerita yang diketahui masyarakat setempat, menjadi persoalan yang melandasi penelitian ini.

1.2 Subjek Analisis dan Perspektif Fenomenologi
            Subjek analisis dari penelitian ini adalah mitos pura Gunung Kelod, Desa Amed, Kecamatan Kubu, Karangasem. Dari enam narasumber yang diwawancarai, maka dipilihlah tiga orang narasumber, yakni bapak Made Cekeb, Ni Wayan Daging dan Ibu Ayu Santi sebagai narasumber utama dengan pertimbangan, karena ketiganya memberikan informasi yang saling mendukung keutuhan cerita, sehingga manjadi satu kesatuan yang utuh dalam upaya memahami mitologi ini. Dalam upaya menganalisis subjek ini, informasi yang disampaikan oleh narasumber dengan generasi yang berbeda sangat memudahkan peneliti melihat sejauh mana perkembangan pewarisan mitos ini dari generasi ke genarasi. Ibu Ni Wayan Daging mewakili generasi tua sebagai pemberi informasi mengenai mitos ini. Selanjutnya bapak Made Cekeb dan Ibu Ayu Santi merupakan generasi selanjutnya yang juga menyampaikan informasi cerita yang lebih komperhensif. Mengenai subjek ini sempat disinggung oleh narasumber, bahwa pendokumentasian mengenai kisah pura ini belum pernah dilakukan. Informasi ini sesuai dengan keberadaan pura Gunung Kelod pasca dipugar yang baru berusia tiga tahun, walaupun palinggihnya memang sudah ada semenjak zaman dahulu.
            Penelitian ini bertitik tolak pada konsep perspektif fenomenologi. Berdasarkan sudut pandang dari adanya sebuah fenomena atau kejadian pembunuhan tersebut, melahirkan sebuah keyakinan di tengah-tengah kelompok masyarakat tertentu. Realitas menjadi dasar penelitian ini, yakni fenomenologi sebagai sebuah wawasan filosofi (epistemology), artinya data folklor harus dianalisis berdasarkan fenomena yang muncul, sehingga pemaknaan folklor tersebut harus didasarkan atas realitas itu sendiri (Endraswara, 2008: 91). Salah satu  gagasan terpenting dari paradigma fenomenologi yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian kualitatiif adalah dengan memandang realitas sosial, fakta sosial atau fenomena sosial yang menjadi masalah didalam penelitian. Menurut paradigma fenomenologi bahwa realitas itu tidak semata-mata bersifat tunggal, objektif, terukur, dan dapat ditangkap oleh pancaindera sebagaimana pandangan dari paradigma positivisme.
Perspektif fenomenologis yang tidak lepas dari realitas baik secara individu maupun kolektif sangat relevan digunakan dalam penelitian ini. Berawal dari adanya fenomena pembunuhan yang tidak disengaja dan dikarenakan kesalah pahaman, membuat perubahan yang berarti terhadap folk-nya (kelompok masyarakat dengan ciri pengenal fisik, kebudayaan yang sama). Dari fenomena tersebut, menimbulkan kesadaran untuk mempertanggungjawabkan perilakunya dengan mengadakan upacara penguburan yang baik dan layak, serta mendirikan sebuah palinggih. Pembangunan palinggih tersebut dilakukan sesuai dengan amanat seorang Jero Dasaran (orang pintar) yang meramal kejadian tersebut dari perspektif spiritual-magis. Masyarakat Bali menyebut dengan istilah nunas baos (mohon petunjuk). Didasarkan pada petunjuk inilah fenomena yang terjadi terwujud dalam sebuah realitas, yakni peristiwa tersebut sebagai landasan membangun keyakinan untuk mendirikan pura Gunung Kelod.

Realitas lainnya juga terkait dengan keberadaan ‘gong’ yang hingga saat ini ada di banjar Mertasari, Culik dan disungsung oleh masyarakatnya. Realitasnya, tidak hanya masyarakat banjar Mertasari yang meyakini dan sembahyang ke pura tersebut, bahkan masyarakat yang datang dan bersembahyang ke sana juga berasal dari berbagai daerah di Bali.

1.3 Pemilik Folklor : Tradisi dan Kolektivitas
Pemilik folklor dari mitos Pura Gunung Kelod (Kidul) ini adalah masyarakat banjar Mertasari, Desa Culik, Karangasem. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, leluhur dari masyarakat banjar ini merupakan keturunan  Arya Tangkas Kori Agung. Sedikit menyinggung mengenai keturunan Arya Tangkas Kori Agung yang termuat dalam Babad Kanuruhan disebutkan bahwa,  riwayat ini digali mulai dari adanya kcrajaan Kediri, yang kemudian di lanjutkan dengan berdirinya kerajaan Singosari dan Majapahit, Expedisi (Gajah Mada ke Pulau Bali, yang diperintah oleh Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, dengan Maha Patihnya yang bernama Ki Pasung Grigis, membawa suatu hikmah tersendiri terhadap perkembangan Warga yang berada di pulau Bali.Setelah beberapa lama maka Gajah Mada mengirim raja ke Bali yaitu Kresna Kepakisan dengan bersetana di Samprangan. Setelah berhasilnya pemerintahan Sri Kresna Kepakisan maka masing - masing Arya diangkat menjadi Menteri atau Punggawa. Di dalam beberapa naskah menyebutkan bahwa Arya Kanuruhan mendapat tugas di Tangkas, dan Arya inilah yang mendirikan tempat pemujaan di Desa Tangkas, guna memuja leluhur mereka yang ada di Tanah Jawa, yang kemudian menjadilah Pura Kawitan Tangkas Kori Agung sekarang. Maka Arya Kanuruhan, merupakan peletak batu pertama di Pura Kawitan Tangkas.
Apabila diselusuri berdasarkan pada keturunan warga banjar Mertasari tersebut, maka jelaslah masyarakat ini dapat digolongkan dalam masyarakat Bali Dataran.  Masyarakat Bali dibedakan menjadi dua, yakni Bali Aga dan Bali Dataran. Masyarakat Bali Aga merupakan masyarakat Bali yang leluhurnya merupakan orang Bali Asli yang hidup dan menetap di Bali. Sesuai denan tipografi desa yang berada di pesisir pantai, mata pencaharian, sebagaian besar penduduknya adalah nelayan, petani garam, berternak, dan berladang. Seluruh pekerjaan tersebut dijalakan oleh masyarakat banjar Mertasari dengan menyesuaikan keadaan alam atau cuaca. Pada masa kemarau panjang, maka usaha menjadi petani garam memberikan pemasukan yang cukup untuk mereka, demikian juga dengan pekerjaan untuk melaut. Namun, apabila musim hujan datang, maka mereka lebih memilih untuk berternak dan berladang. Banyaknya pekerjaan yang dapat dilakukan oleh masyarakat banjar Mertasari menunjukkan tidak ada pekerjaan tetap yang dijalankan oleh masyarakatnya. mengenai mata pencaharian, menurut wawancara sangat terkait dengan peristiwa sejarah yang terjadi. Disebutkan, bahwa pada tahun 1700an pada masa pemerintahan raja karangasem, yakni Raja Dimade pergeseran klen yg jg terjadi sebagai pengaruh peristiwa Tulamben. Persebaran klen mulai pada zaman  pemerintahan Dalem Waturenggong terdapat klan Pasek, Tangkas, Pegatepan dan lain-lain. Persebran klen tersebut cenderung menjadikan nelayan sebagai perkerjaan utama yang digeluti pada klen masing-masing. Walaupun mereka merantau dan menyebar ke wilayah lain (masyarakat Tulamben, Datah, Culik, dan lain-lain) masih menjadi bagian dari desa pakramannya masing-masing
Tidak jauh berbeda dengan sebelas kepala keluarga banjar Mertasari yang tinggal di desa Amed. Pekerjaan mereka tidak jauh berbeda, bahkan khusus untuk pekerjaan bertani garam, mereka mampu menghasilkan kualitas garam yang baik. Kualitas garam yang baik juga tentu didorong oleh proses pembuatan yang baik pula. Proses pembuatan garam tersebut sering disebut masyarakat setempat dengan ‘nguyahin’.Kata ‘nguyahin’ berasal dari urat kata ‘uyah’ yang artinya garam. Menurut penuturan bapak Made Cekeb, proses pembuatan garam di desa Amed ini mendapatkan simpati dari peneliti asing terutama tentang kandungan manfaat garam. Bersinerginya masyarakat pendatang (masyarakat banjar Mertasari) dengan masyarakat desa Amed, membawa dampak yang positif dalam upaya perputaran perekonomian di desa Amed.

2.4 Versi yang Berbeda: Keragaman Sambutan Masyarakat terhadap Mitos ‘Pura Gunung Kelod”
Merujuk pada folklor yang paling benar atau dikatakan sebagai ‘yang’ paling asli hampir tidak ada. Fakta yang ada mengenai sebuah data adalah versinya yang tidak akan sama. Sambutan masyarakat terhadap sebuah cerita rakyat, cenderung berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang kemudian membentuk versi ceritanya sendiri. Endraswara menyatakan, bahwa dalam kenyataannya tidak ada bahan-bahan folklor yang asli. Folklor yang dikumpulkan merupakan versi dari suatu bentuk folklor, yang aslinya tidak dapat dicari lagi. Setiap versi dianggap sah, asalkan sembernya jelas dari mana, oleh siapa dan dari zaman apa (2002 : 106).
Versi cerita yang berbeda di masyarakat, sangat terkait dengan latar belakang sosial seseorang yang merespon keberadaan cerita tersebut. Pada wawancara yang dilakukan pertama kali, yakni pada bapak Made Cekeb (warga desa Amed).  Informasi yang diperoleh mengenai mitos Pura Gunung Kelod bersifat historis yang terkait dengan Babad Tulamben. Penjajahan Makasar ke Bali yang konon terjadi di Tulamben, sempat disinggung sebagai awal penceritaan mengenai kisah ini. Menurut penuturan bapak Made Cekeb kisah ini diawali dari masa Dalem Sagening, yakni terjadinya pemberontakan orang-orang Bugis, yang ingin menguasai Tulamben, kisah inipun dibenarkan dalam Babad Tulamben. Terjadinya perang antar orang Bugis dgn orang Tulamben direfleksikan dalam upcara di desa Mrita dengan tradisi wong prahu,  dan bedil-bedilan. Kisah mengenai kedatangan bugis tersebut menjadi pengantar penceritaan bapak Made Cekep. Selnjutnya, barulah penceritaan dilanjutkan mengenai kisah penjual gong dan diakhiri dengan pendirian Pura Gunung Kelod.
Sambutan atas keberadaan kisah ini oleh ibu Ayu Santi, memiliki versi yang sedikit berbeda. Ibu Ayu (warga asli banjar Mertasari sekaligus pangempon pura) merupakan seorang dasaran ‘orang pintar dalam agama Hindu’. Informasi yang diperoleh mengenai mitos Pura Gunung Kelod lebih bersifat spiritual-magis. Tokoh-tokoh yan terdapat dalam cerita tersebut berkaitan dengan keberadaan dewa-dewi atau perwujudaannya. Menurut penuturan ibu Ayu Santi, kisah ini diawali dari terdapatnya pimpinan kapal bernama Subandar yang merupakan penyamaran Raden Mas Leo, yang merupakan saudara (adik) dari Raden Ratu Kanjeng Pantai Selatan tau Ratu Kidul (yang sering disebut-sebut sebagai ratunya dari pantai selatan). Ayah keduanya merupakan Ratu Ning Segara atau Bhatara Baruna (Penguasa Lautan). Selanjutnya pada bagian tengah cerita hamper tidak ada perbedaan dengan sumber yang sebelumnya. Hingga pada bagian akhir cerita Ibu Ayu menjelaskan, bahwa tujuan penyemaran Raden MAs Leo menjadi pedagang gong dan terjadilah peristiwa tersebut adalah untuk mengajegkan Bali. Secara sederhana menurut petunjuk yang ia dapatkan secara gaib, bahwa : “Mangda wenten sane uning taler nyungsung Ida, sane mapesengan Bhatara Subandar” (Agar ada yang tahu dan memuja beliau, dengan nama Bhatara Subandar).
Informasi lainnya yang diperoleh dari seorang nenek yang bernama Ni Wayan Daging menganggap cerita ini berasal dari Jawa. Diceritakan berawal dari ada yang membawa gong orang bertemu dengan penglingsir banjar Mertasari. Ni Wayan Daging mencra deritakan bagian awal sampai akhir secara detail. Misalnya mengenai senjata yang dibawa oleh penjual gong, yaitu membawa golok dan senjata yang dibawa oleh leluhur mereka dengan membawa pengutik. Selain itu, mengenai masalah waktu kematian tokoh. Nenek yang berusia kira-kira 70 tahun ini sangat lantang mengatakan setelah satu bulan tujuh hari pasca kematian tersebut, leluhur mereka kemudian menanyakan kejadian itu kepada dasaran ‘orang pintar’. Penceritaan yang polos dan sederhana dijelaskan nenek dengan tiga orang putra tersebut. Informasi yang ia sampaikan, diakui diperoleh secara turun-temurun dari orangtuanya. Pemahaman mengenai sejarah, maupun berkenaan dengan hal spiritual tidak begitu ditekankan. Struktur cerita yang mudah dimengerti menjadi cara tersendiri oleh Ni Wayang Daging ketika menuturkan cerita ini.

2.3 Sumber Data  
            Pemerolehan data mengenai mitos Pura Gunung Kelod menggunakan metode wawancara dengan teknik merekam. Selanjutnya data di transkripsi dan disajikan secara formal.  Keragaman versi cerita yang didapatkan, tidak mampu memecah keyakinan masyarakat mengenai keberadaan mitos Gunung Kelod tersebut. Data tersebut terdiri dari beberapa versi cerita. Masyarakat yang berlatarbelakang sipil dengan masyarakat yang berlatar agamais, menjadi dua aspek penting dalam pemerolehan data. Mengamati data dari sudut pandang masyarakat umum, dengan dasar interaksi sosial yang tinggi, mengarahkan data penelitian ini lebih bersifat logis dengan merunut pada fakta-fakta kesejarahan. Namun, pada data yang lainnya, mengarahkan penelitian ini untuk mengungkapkan hakikat yang lebih mendalam mengenai keberadaan mitologi tersebut, sehingga mengarahkan pada hal-hal yang bersifat religius-magis. Yang pada akhirnya mengarahkan pada keyakianan secara spiritual.
Data yang pertama berasal dari bapak Made Cekeb. Berikut sinopsis cerita yang disampaikan : Pada masa Dalem Sagening diperkirakan terjadi pemberontakan dari orang-orang Bugis, yang ingin menguasai Tulamben, yang juga terdapat pada babad Tulamben. Terjadi perang antar orang Bugis dengan orang Tulamben. Refleksi kejadian  ini dilakukan dalam upacara di desa Mrita yang dilakukan melaui tradisi wong prahu, dan bedil-bedilan. Diawali dari dua orang masyarakat Bugis yg membawa gong untuk dijual. Akhirnya karena penduduk kesal melihat keberadaan orang Bugis tersebut yang menjual gong, masyarakat Mertasari Culik penjual gong tersebut, diambilah gong tersebut. Orang yg membunuh kedua masyarakat Bugis tersebut dengan seluruh keturunannya mengalami kesengsaraan. Akhirnya karena ketakutan, keturunannya mencari orang pintar (balian). Akhirnya diketahuilah, bahwa penyebab kesengsaraan dari keluarga tersebut adalah karena peristiwa perampasan gong yang dilakukan. Ia pun menanyakan menganai usaha yang bisa diupayakan agar bisa menghilangkan kesengsaraan di keluarganya. Kemudian dimintalah agar dibuatkan pura untuk menebus kesalahan tersebut. Mengenai pelaksanaan upacara di pura tersebut nmerupkan seolah refleksi misalnya tarian bugis yang ditampilkan, pencak silat “seperti kerangsukan”. Seolah budaya yg ditampilakan dalam tradisi upacara ini merefleksikan budaya Bugis.
Selanjutnya berikut sinopsis cerita menurut versi ibu Ayu Santi : Ada pimpinan kapal bernama Subandar yang merupakan penyamaran Raden Mas Leo, yang merupakan saudara dari Raden Ratu Kanjeng Pantai selatan ayahnya merupakan Ratu Ning Segara atau batara Baruna. Tujuan kedatangan beliau adalah untuk mengajegkan Bali. Gongya direbut oleh penglingsir tanpa dibayar. Masyarakat disana meyakini hari anggara (selasa) merupakan hari keramat, sehingga hari anggara itu dihapus oleh masyarakat penyungsung pura klod. Karena hari angara itu selalu diakaitka dengan musibah, tetapi ibu ayu santi ini melanggar. Menurut beliau piodalanya pada sasih kelima, dengan aliran siwa Budha, karena salah satu dari mereka berasal dari warga pang dan satunya lagi berasal dari Jawa. Menurut ibu ayu santi keduanya dibunuh kemudian dimakamkan di areal berdirinya pura Gunung Klod. Piodalanya ring purnama katiga sasih kelima. Penyamaran beliau ketika turun ke bumi biasanya menggunakan peci.
Kematiannya dalam samaran. Tujuan penyamaran beliau adalah untuk menyatukan diri dengan saudaranya, yang ada kaitanya dengan pantai selatan, yang bernama betara bagus manik subandar. Di bungaya, beliau berstana bernama betara bagus mas slonding dan juga di daerah Lombok. Di Sanur Beliau bernama Raden Mas Leo. Di sanur merupakan awal pertamanya beliau turun ke Bali. beliau sering dianggap sebagai dewanya harta benda atau kekayaan. Jadi gong itu disimbulkan sebagai alat penyatuan masyarakat. Rencana awalnya gong tersebut akan ditaruh di kerajaan Lombok. Kenyataan benda yang berupa gong benar-benar ada. Sarana upakara yang digunakan tidak menggunakan daging babi, sehingga dikatakan muslim. Hal ini karena di Jawa ia menganut kepercayaan Islam. Kepercayaan muslim itu dikenal dengan istilah bali jawa. Masyarakat merta sari pada zaman dulu tidak merayakan atau menghaturkan upakara pada hari anggara kasih. Hal ini karena kepercayaan dan keyakinan masyarakat mengenai cerita tersebut.

Data yang terakhir adalah berdasarkan wawancara dengan ibu Ni Wayan Daging. Berikut informasinya : Diceritakan berawal dari terdapat dua orang penjual gong yang bertemu dengan penglingsir banjar meta sari di peuyahan. Waktu kejadian diperkirakan jam 5 sore. Kemuadian ditanyalah kedua orang bugis itu oleh penglisir tersebut “Jero2 kal kija jerone ngaba gong, yening kel adol tiang sane numbas, iringang mangkin tiang ke culik”. Kedua belak pihak baik itu maysarakat Bugis atau Mertasari bersikap bimbang dan ragu. Orang Bugis tersebut bersenhjatakan golok sedangkan penglingsir mertasari bersenjatakan pengutik. Karena ketakutan penglingsir mertasari terlebih dahulu menyerang dengan pengutiknya. Sedangkan rekanya lari tidak tahu kemana dan menghilang, karena ketakutan penglingsir mertasari memukul kentongan untuk mengumpulkan keluarga dan meminta saran. Satu bulan tujuh hari setelah peristiwa tersebut dicarilah balian atau sedahan ‘orang pintar’ ke manggis. Disebutkalah orang yang berasal dari jawa tersebut ingin disungsung oleh masyarakat Bali., dengan sebutan Ida Ratu Bagus Manik Subandar yang merupakan orang sakti dari pulau Jawa, masyarakat sering menyebutnya sebagai Dewa Perahu.

2.6 Fakta dan Realitas Mitos Gunung Kelod
Fakta historis secara tertulis mengenai kaitan penjajahan masyarakat Bugis ke Tulamben yang didasarkan pada Babad Tulamben. Fakta fisik (artefak), yakni keberadaan ‘Gong’ (alat musik yang terbuat dari tembaga) yang masih disimpan di Br. Merta Sari, Culik dan sesekali diusung menuju pura Gunung Kelod. Selain itu, dibangun pula palinggih ‘tempat berstana’ Bhatara Manik Subandar. Nama Subandar menjadi perhatian yang menarik sekaligus mendekati ciri budaya Bugis tersebut. Demikian pula dengan fakta empiris, yakni pelaksanaan upacara pada saat piodalan ‘ritual upacara’ di Gunung Kelod yang menunjukkan ciri-ciri budaya Bugis, yakni dengan keberadaan tradisi pencak silat.
Realitas yang terjadi di masyarakat dengan keberadaan Mitologi ini, yakni tidak hanya masyarakat Br. Merta Sari, Culik yang melakukan pemujaan di pura tersebut. Namun, masyarakat lainnya yang ada di areal pura memiliki keyakinan yang sama. Pada mulanya, hanya dibangun sebuah pelinggih biasa di areal Gunung Kelod. Pada kira-kira tiga tahun yang lalu, pangempon ‘yang mengurus’ pura dan masyarakat setempat mendirikan bangunan pura dengan konsep Tri Mandala, yakni terdapat jeroan, jaba tengah, dan jaba. walaupun masih dengan bangunan dan bentuk yang sangat sederhana. Hal ini menunjukkan realitas yang terjadi pada masyarakat terhadap keberadaan mitologi ini menjadi sangat kuat. Apalagi penentuan pelaksanaan pujawali ‘upacara’ di pura tersebut disepakati pada purnama ketiga dalam perhitungan sasih kalima ‘bulan kelima’. Para pamedek yang datang untuk melakukan pemujaan berasal dari berbagai tempat di Bali. Hanya saja, mengenai mitologi yang melatarbelakangi pendirian pura ini tidak banyak orang yang tahu.
Pelaksanaan piodalan di pura Gunung Kelod dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pada saat pujawali, masyarakat yang medek (datang dan bersembahnyang di sana) bisa dari berbagai daerah karena ini terkait dengan nilai rasa, tatwa susila. Namun, mengenai upakaranya tidak merefleksikan peristiwa tersebut. Konteks budaya dalam ritual upacara di pura tersebut sama dengan kejadian pada mitologi ini. Rangkaian acara lainnya terkait dengan tradisi ini, yakni ketika piodalan tersebut gong dibawa dari banjar Mertasari ke pura Gunung Kelod. Ketika rangkaian upacara selesai gong dikembalikan ke banjar Mertasari yang diiringi oleh semua pengikutnya. Bhtara yang disungsung disebut sebagai. Prilaku pamedek pada saat upacara melakukan tradisi mencak (pencak silat). Tradisi ini melibatkan hampir sebagian besar  pamedek  yg hadir pada saat pelaksaana upacara tersebut. Ada satu pelinggih yang unik  yang disebut dengan pelinggihan Bhatara Sabandar atau Subandar yang merupakan perwujudan tokoh penjual gong, yang melakukan penyamaran. Keberadaan palinggih ini hampir sama dengan yang ada di Batur. Berdasarkan hal tersebut, agaknya sangat penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut, guna perkembangan ilmu pengetahuan mengenai kebaradaan pura-pura di Bali yang sangat banyak dan memberikan informasi kepada masyarakat megenai asal-usul pura-pura yang ada di Bali.









DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta : Yogyakarta Press.
Danandjaja, james. 1984. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta : PT. Temprint.
Nyoka. 1990. Sejarah Bali. Denpasar : Percetakan Bali.
Pudentia, MPSS, 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

https://sites.google.com/site/dadyatangkas/babad
http://mudiartana.blogspot.com/2010/03/sejarah-desa-culik.html



LAMPIRAN I (NARASUMBER)

Nama               : I Made Cekeb
TTL                 : Abang, 1962
Alamat                        : Amed, Karangasem
Pekerjaan         : PNS (Dinas Kebudayaan Amlapura)

Nama               : Ayu Santi
TTL                 : Karangasem, 1985
Alamat                        : Amed, Karangasem
Pekerjaan         : Dasaran

Nama               : Ni Wayan Bugbug
TTL                 : Culik, 1956
Alamat                        : Amed, Karangasem
Pekerjaan         : Petani Garam (sekaligus pangempon pura)

Nama               : Ni Wayan Daging
TTL                 : Culik, 1950
Alamat                        : Amed, Karangasem
Pekerjaan         : Pangempon pura

Nama               : I Wayan Resen
TTL                 : Culik, 1953
Alamat                        : Amed, Karangasem
Pekerjaan         : Petani garam (sekaligus pangempon pura)

Nama               : Ni Wayan Merti
TTL                 : Amed, 1987
Alamat                        : Amed, Karangasem
Pekerjaan         : Pegawai Penginapan






Tidak ada komentar:

Posting Komentar