PROSES
MORFOFONEMIK
DALAM
PEMENUHAN PADA LINGSA PADA GEGURITAN
CANGAK
Oleh
: Luh Yesi Candrika,S.S.
1. Pendahuluan
Penguasaan bidang
sastra adalah tahap kedua atau lapis kedua setelah penguasaan bidang bahasa
(linguistik) sebagai dasar. Dalam sastra, bahasa merupakan objek sekaligus
sistem tanda yang membangun sebuah teks. Bahasa lisan tidak sama dengan wacana
(pada wacana satuan terkecil adalah kalimat, bentuk lisan dapat mengandung
wacana). Bentuk lisan suatu bahasa dapat mengandung wacana dalam dirinya,
tetapi bukan berarti bahasa dengan sendirinya dapat menjadi sebuah wacana.
Memahami sebuah karya sastra, tidak hanya untuk memperoleh nilai atau makna
yang terkandung di dalamnya, akan tetapi melihat proses penggunaan bahasa oleh
seorang pengarang dalam tataran gramatika bahasa. Morfologi adalah salah satu
terori deskriptif ilmu bahasa, yang berkaitan dengan proses pembentukan kata
(Matthews, 1974 : 2). Pada atatran morfologi, seorang pengarang menggunakan
bahasa sebagai objek karya sastra yang diabstrasikan dalam bentuk morfem maupun
kata. Menurut Simpen, pada dasarnya prinsip kerja morfologi adalah menyusun
morfem-morfem menjadi kata, atau menguraikan kata menjadi morfem (2009 : 4).
Sisi Humaniora sebuah teks sangat
kuat, yakni bersifat subyektif. Sejauh ini pengkajian sastra yang mampu
menyampaikan kebenaran-kebenaran melalui bantuan analisis bahasa dalam bentuk morfem
ataupun kata sangatlah kurang. Sejatinya, batasan-batasan dalam pengkajian
sastra melalui pemaparan ciri-ciri linguistik mengarahkan hasil penelitian
sastra yang lebih objektif. Tantangan yang dihadapi dalam analisis wacana,
yakni perkembangan wacana yang selalu dinamis, akan terus-menerus berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman. Kemungkinan sebuah teks akan menimbulkan
multitafsir sangatlah besar. Menghadapi sebuah teks berkaitan dengan bentuk dan
makna. Hal ini sesuai dengan prinsip linguistik yang diungkapkan oleh Ferdinand
de Saussure, yakni signifie (penanda) – significant (petanda). Membaca sebuah
teks sastra merupakan membaca tanda-tanda bahasa yang akhirnya menuntun pada
makna sebuah karya. Pemerolehan makna (nilai) dari sebuah karya, melalui proses
dan langkah-langkah yang perlu dilakukan.
Kritik karya sastra akan menjadi
lebih objektif dengan cara mendeskripsikan struktur makro dan mikro. Struktur
mikro berkaitan dengan ko-teks (yang ada di dalam teks). Ko-teks terdiri dari,
Gramatik, Semantik, Sintaktik, Retorik, dan Stilistik. Sementara itu struktur
makro (konteks), merupakan hal-hal yang berada di luar teks, diantaranya Tematik
(judul), Skematik (epilog), Generik (tujuan umum), dan Spesifik (tujuan khusus).
Upaya penyeimbangan anatara struktur mikro dan makro dalam analisis karya
sangat jarang ditemukan. Fokus seorang peneliti secara umum, bertitik tolak
pada salah satu unsur saja. Pada hakekatnya sastra tidak dapat dilepaskan dari
peran bahasa, karena bahasa adalah objek sastra. Upaya apresiasi sastra, merupakan
upaya pemerolehan makna dari hakikat suatu karya. Makna tersebut hadir dari
gabungan kata, frasa, maupun kalimat yang meupakan suatu kesatuan pembangun
karya sastra. Makna yang utuh dalam karya sastra, diperoleh dari pertalian
anatara pesan yang satu dengan pesan lainnya. Yang ditentukan oleh kohesi (leksikal-gramatikal)
dan koherensi teks. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian sastra tidak
hanya berfokus pada makna (nilai) suatu karya, akan tetapi pengungkapan
ideologi dari sebuah teks sangatlah penting dalam memberikan gambaran mengenai
suatu masyarakat dan peradabannya.
Upaya mengubah bentuk
sebuah teks menjadi karya sastra lisan merupakan salah satu kegiatan apresiasi
sastra. Seperti halnya mentransforfasi bentuk karya sastra, yaitu sebuah cerita
lisan (Satua) ke dalam bentuk sastra Geguritan, sehingga dapat ditembangkan
atau dilgukan. Geguritan menjadi salah satu karya sastra yang menarik dalam hal
kepengarangan, yang terkait dengan penggunaan bahasa, pemaikaian aturan
penulisan pada lingsa dan
pengungkapan pesan dalam teks yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang. Sebagai
puisi Bali tradisional, karya sastra ini tidak hanya mengandung banyak hal,
diantaranya tutur, berbentuk narasi, dll pada dasarnya diikat oleh aturan pada lingsa (yang terdiri dari suara
pematut/ bunyi vocal dan Lingga Suara/ jumlah suku kata dlaam tiap baris). Hal
ini tidaklah mudah dalam proses kepengarangannya. Tidak hanya memperhitungkan
ketepatan atuaran pada lingsa, tetapi
pengarang juga harus memperhatikan jalinan cerita yang ada dilamnya agar
kontekstual, walaupun dalam upaya pemenuhan pada
lingsa.
Geguritan
Cangak adalah karya sastra yang merupakan transformasi dari sebuah cerita
Tantri, yang kemudian dituliskan dalam bentuk geguritan, dan pada akhirnya kembali
dilisankan (ditembangkan atau dilagukan) sesuai dengan fungsinya. Gaguritan ini
berbentuk narasi yang sesuai dengan keberadaan cerita lisan tersebut. Karya
sastra ini terbangun oleh pupuh-pupuh, diantaranya Pupuh Ginada (27 bait),
Sinom (7 bait), dan Pangkur (8 bait). Teks geguritan yang menggunakan bahasa
Kawi-Bali ini nampak sederhana, akan tetapi sarat akan nilai-nilai filosofis
dan mencerminkan ideologi masyarakat. Dalam mengungkapkan suatu sifat buruk
manusia yang licik, dianalogikan dengan se-ekor burung Bangau ‘Cangak’. Penyamaran burung Bangau
menjadi seorang Pendeta yang lengkap dengan atributnya, menjadi suatu tanda
yang tidak dapat dilewatkan begitu saja. Hal ini juga terkait dengan kehidupan
masyarakat Bali dalam kepercayaan dan kebudayaan.
Cerita ini diawali dari keinginan I
Cangak ‘burung bangau’ untuk memakan ikan-ikan yang ada di telaga. Burung
tersebut menggunakan tipu muslihat dengan menyamar sebagai seorang Pendeta
untuk memperdayai para ikan. Nita jahat dan perilaku licik tersebut, membuat
banyak ikan telah mati dan dimakannya. Sampai pada akhirnya muncullah tokoh
Yuyu ‘kepiting’ yang tidak mudah untuk diperdaya. Pada akhirnya, kecurigaan
Yuyu terhadap Cangak terbukti. Ikan-ikan yang ada di tlaga tersebut semuanya
mati. Pada akhirnya giliran Yuyu yang diselamtkan. Saat akan dipindahkan, Yuyu
melihat tulang-tulang semua saudara-saudaranya, kemudian dicapitlah leher I
Cangak hingga ia mati. Hal itulah yang membuat Cangak harus menerima hasil
perbuatannya.
Dipilihnya binatang sebagai tokoh
dalam cerita yang mewakilkan atau merepresentasikan masyarakat budaya,
merupakan hal menarik yang patut diapresiasi sebagai unsur estetisnya. Karya
sastra yang memiliki nilai estetis, yakni mengacu pada trilogi
baik-benar-indah. Hal ini mengarahkan pada pengertian sastra sebagai penuntun
masyarakat. Keindahan suatu karya (nilai estetika) terkait dengan penggunaan
bahasa. Pengungkapan estetika suatu karya, haruslah didasarkan pada sudut
pandang karya tersebut sebagai sebuah hasil karya seni. Seni yang dimaksudkan
dalam proses penciptaan karya sastra terletak pada kekuatan bahasa. Dalam karya
sastra Geguritan Cangak dilihat dari beberapa sudut pandang permasalahan yang
akan dibahas, yakni mengenai penggunaan bahasa dari segi gramatika, yakni penggunaan
morfofonemik dalam mempengaruhi pada
lingsa. Sejauh ini, pengkajian sastra yang mampu menyampaikan
kebenaran-kebenaran melalui bantuan analisis bahasa dalam bentuk sangatlah
kurang. Sejatinya, batasan-batasan dalam pengkajian sastra melalui pemaparan
ciri-ciri linguistik mengarahkan hasil penelitian sastra yang lebih objektif.
2.
Analisis
Proses Morfologis dalam Geguritan Cangak
A. Afiksasi
Prefiks
|
Infiks
|
Sufiks
|
Simulfiks
|
a - bedik
e - juk
ka – takil
ka
- swen
ka- sengkala
ka- temu
ka- liwat
ka - kapit
ke - nem
ma- ring
ma - jujuk
ma - panganggo
ma- genitri
ma- ketu
ma- jujuk
ma- punduh
ma- ngrubug
ma-
atur
ma- sabda
ma- piccha
ma- prayascita
ma - diksha
ma- punduh
ma- munyi
ma- mulisah
ma- ngeling
ma- rupa
ma-
urip
ma- kesyab
ma- pindah
ma- bulu
ma- jalan
ma- garang
ma- gilir
ma- ngamah
ma - dugdug
ma- gantung
ma- matbat
nir- guna
N - rengreng
pa- boreh
pa- ubad
sa - dina
|
(-um-) - atur
jujug - (-um-)
samba - (-in-)
|
bunga - n
bapa- ne
cai- ne
daya - ne
dhanu - ne
ganti - nne
keber - ang
kasep – an
kandika - in
leket - e
menek - an
malu - nin
ngiring - ang
satwa- nnya
sisya - n
sakancan - ing
semeng - an
suba - ne
tulung - in
tuna - in
tongos – e
tulang - nyane
tongos - ne
upaya- ang
urip - ang
wacana - n
yeh - na
|
a - cepok –an
e
- yeh - nyane
di - telaga - ne
ka - engkeb – ang
ka - payas - in
ka - gelek - ang
ka - dharma - n
ka - rusak - an
ka - bakat - ang
ka - takut - an
ka - tinggal - in
ka - gilir -ang
ka
- ejoh - ang
ka - pindah - ang
ka - enggal - in
ka - gisi - ang
ka - akes - ang
ka - enggal - in
ka- keneh - ang
ka - crita -yang
ma- pineh -in
ma - uleh - an
ma - nguyak - in
ma - dingeh - ang
N - juk – in
N
- rasa -yang
N - arep - ang
N - anut - in
pa - semeng - an
pa - semeng - an
pa - semeng - an
sa - idup - an
|
Keterangan :
Pada
teks Geguritan Cangak, penggunaan afiks (prefiks) lebih mendominasi dari proses
afiksasi lainnya. Kata-kata yang melekat pada afiks tersebut lebih banyak kata
kerja (verb) terutama pada prefiks (ma-), dan juga ada beberapa kata sifat (Adjektive)
serta kata benda (Nomina). Serta yang paling sedikit penggunaannya, yakni
infiks (sisipan). Afiksasi dalam proses kepengarangan, terutama pupuh
mempengaruhi pada lingsa (aturan) yang terdiri dari Suara Pematut (SP) dan
Lingga Suara (LS). Penambahasn satu buah morfem saja, ternyata mempengaruhi
jumlah Lingga Suara (LS), misalnya contoh:
-
Jalan
ke Tlaga (5a)
Majalan ka Tlaga (6a)
B.
Reduplikasi
(Perulangan)
1. Perulangan Seluruh
Perulangan
seluruh, ialah perulangan segala bentuk dasarnya, tanpa perubahan fonem dan
tidak berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks (Ramlan, 1985 : 62),
diantaranya :
-
Kadi-kadi
-
Kenyir-kenyir
-
Kesyab-kesyab
-
Mapi-mapi
-
Megat-megat
2.
Perluangan Sebagian
Perulangan
sebagian adalah perulangan sebagian dari bentuk dasarnya (Ramlan, 1985 : 63),
diantaranya :
-
Mabetabet
-
Makelo-kelo
3.
Perulangan yang berkombinasi dengan
proses pembubuhan Afiks.
Dalam golongan ini,
bentuk dasar diulang seluruhnya dan berkombinasi dengan proses pembubuhan
afiks, maksudnya pengulangan itu terjadi bersama-sama pula dalam mendukung satu
fungsi (Ramlan, 1985 : 66), diantaranya :
-
Manting- anting (ma-
anting-anting)
-
Mamati-mati (ma-
mati-mati)
-
Dasdasan (das-das-an)
-
Ngame-ame (N-ame-ame)
-
Pules-pulesan (pules-pules-an)
-
Imba-imbayang (imba-imba-ang)
4.
Prakategorial
-
Kaah-kaah
-
Kelik-kelik
-
Slegak-slegak
Keterangan :
Proses
Reduplikasi yang terdapat di dalam teks sebagian besar sebagai pengungkapan
ekspresi kepengarangan tentang sebuah situasi atau kondisi. Seperti kata
kenyir-kenyir, kesyab-kesyab, dan yang lainnya. Penempatan perulangan kata ini
berfungsi menegaskan maksud.
C.
MORFOFONEMIK
Proses morfofonemik disebut juga proses morfofonologi. Di sini terlihat
adanya pertemuan morfem dengan morfem, yang menyebabkan terjadinya perubahan
fonem (Simpen, 2009 : 43), diantaranya :
1.
Proses perubahan wujud bunyi
-
ma(N) + tutur + ang (manuturang)
-
ma + (t)nunas + ang (manunasang)
-
ma + (p)maksa (mamaksa)
-
ma(N) + sambung + in (manyambungin)
-
ma + (t)nulung (manulung)
-
ma(n) + sesek + in (manyesekin)
-
ma+ (m)pineh + in (maminehin)
-
ma + (m) putih (mamutih)
-
ma + (m)pedas + ang (mamedasang)
-
ma + (ny)cihna + ang (manyihnaang)
-
ma
+ (ny)selsel + ang (manyelsel)
-
ma+(P) isadhu (misadhu)
-
tawur + in (nawurin)
2.
Proses Hilangnya Bunyi
-
ma +pikolih + ang (mikolihang)
-
tengah +ing (tengahing)
-
ma + pisadu (misadu)
-
ma +abet (mabet)
-
ma + adan (madan)
-
cerita + an (critan)
-
N +keneh+ ang (ngenehang)
3. Proses Morfofonemik Dalam Pemenuhan
Pada Lingsa
Karya sastra geguritan terbangun
oleh pupuh-pupuh yang menjadi suatu kesatuan teks. Pupuh-pupuh tersebut,
masing-masing memiliki aturan ‘pada lingsa’ yang menjadi ciri pembeda antara
pupuh yang satu dengan yang lainnya. Pupuh diikat oleh atuaran dalam proses
kepengarangannya, yang disebut dengan pada
lingsa ‘aturan suara yang padu’. Dalam proses kepengarangannya, pengarang
tidak hanya focus pada pemilihan kata (diksi), serta menjaga keutuhan cerita
saja. Seornag pengarang sastra geguritan, harus faham dengan aturan tersebut,
dan sejauh mana terjadi kemungkinan penyimpangan-penyimpangan dalam karyanya.
Penyimpangan-penyimpangan aturan pupuh, jika terjadi dalam kemungkinan kecil
hal ini masih dapat diterima. Akan tetapi, apabila sangat menyimpang dari
aturan yang sudah disepakati, maka pupuh tersebut harus mendapatkan perlakuan
yang berbeda, yakni menempatkan pupuh tersebut sebagai suatu kesalahan aturan
atau pengarang memfokuskan diri pada narasi.
Geguritan Cangak merupakan sebuah
transformasi karya sastra, dari bentuk satua (Tantri) menjadi bentuk sastra
tembang (yang dilagukan). Hal ini tentu menjadi perhatian dalam analisis karya.
Satua yang berbentuk narasi harus tetap menjaga keutuhan cerita, akan tetapi
ketika berhadapan dengan bentuknya yang menjadi geguritan yang terbangun oleh
pupuh-pupuh, maka aturan pada lingsa menjadi tantangan dalam proses
kepengarangannya. Geguritan ini terbangun oleh tiga pupuh, yakni Ginada, Sinom,
dan Pangkur. Pupuh Ginada (27 bait), Sinom (7 bait), dan Pangkur (8 bait).
Salah satu proses morfologis yang menjadi perhatian dalam hal ini, yakni
morfofonemik. Penambahan bunyi, penghilangan bunyi, serta datangnya bunyi
sesungguhnya hal ini paling mempengaruhi proses pemenuhan pada lingsa saat membangun sebuah pupuh. Satu buah morfem yang
berubah, maka menyebabkan perubahan Ling Suara yang merupakan salah satu aturan
dalam pada lingsa. Berikut salah satu
contoh dalam menentukan pada lingsa pupuh.
Pupuh
Ginada (Geguritan Cangak) :
-
Bapa jani manuturang (8a)
-
Apang cening jwa minehin (8i)
-
Satwannya
ya I Sang Cangak (8a)
-
Ngeka daya mapisadhu (8u)
-
Momonnyane kaengkebang (8a)
-
Gampil katakil (5i)
-
Apang siddha mikolihang (8a)
Keterangan
:
Apabila diamati secara cermat mengenai
proses perubahan wujud bunyi, kata [jwa] pada baris kedua sengaja dipilih untuk
memenuhi pada lingsa. Pada bahasa Bali kata [jwa] tersebut seharusnya
dituliskan [jua], yang artinya juga. Kata [jwa] terdiri dari satu Lingga Suara,
akan tetapi [jua] terdiri dari dua Lingga Suara. Dengan demikian, jika kata
[jua] yang dipilih, maka pada lingsa pada baris ke Sembilan akan menjadi (9i). Demikian
pula bahwa kemungkinan ini berlaku sama pada kata [satwannya] pada baris
ketiga. Aturan lumrah pada Pupuh Gina seharusnya (8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a)
Pupuh
Sinom (Geguritan Cangak) :
-
Yan kudang dina kapo I Cangak (10a)
-
Nyalanang daya ane culig (9i)
-
Mabet-abet tuara mangsa (8a)
-
Yadin ada manguyakin (8i)
-
Bene iya sayan bani (8i)
-
Mapunduh ya tur mangrubung (8u)
-
Ada bani manetesang (8a)
-
Maatur
manunas sisip (8i)
-
Aksama ratu (4u)
-
Tityang mangkin manunasng (8a)
Keterangan
:
Berdasarkan proses datangnya bunyi, kata
[ane] digunakan oleh pengarang secara tidak konsisten pada pupuh yang lainnya.
Untuk memenuhi Lingga Suara pada baris kedua tersebut, pengarang bisa saja
menggunakan kata [ne] dalam bahasa Bali, karena maknanya sama tentang menunjuk
suatu hal. Penambahan bunyi /a/ pada kata tersebut, membuat Lingga Suara pada
baris kedua mengalami penyimpangan. Demikian pula dengan kata [maatur]. Dalam
persandian bahasa Bali, ketika prefiks (ma-) bertemu dengan kata yang diawali
bunyi vocal /a/ maka seharusnya mengalami proses persandian, yang membuat bunyi
/a/ yang satu menjadi luluh. Akan tetapi tidak demikian dengan teks di atas.
Pengarang membiarkan proses tersebut dan tidak melakukan proses persandian. Hal
ini terkait dengan pemenuhan proses pada lingsa. Karena apabila kata [maatur]
dirubah menjadi [matur], maka pada lingsa pada baris ke delapan menjadi (7i).
aturan yang lumrah dalam Pupuh Sinom, yakni (8a, 8i, 8a, 8i, 8i, 8u, 8a, 8i,
4u, 8a)
4.
Simpulan
Geguritan Cangak
terbangun oleh pupuh-pupuh yang diikat oleh aturan (pada lingsa). Dalam
kepengarangan, proses-proses morfologis sangat mempengaruhi ketepatan aturan
tersebut (pada lingsa), yang terdiri dari Lingga Suara (LS) dan Suara Pematut
(SP). Karya sastra ini telah dianalisis berdasarkan proses-proses morfologis
yang membangun teksnya. Utamanya pada proses morfofonemik yang memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap ketepatan aturan tersebut. Diantaranya
terjadi perubahan bunyi, penambahan bunyi, maupun penghilangan bunyi
mempengaruhi ketepatan pada lingsa tersebut. pada akhirnya, pupuh-pupuh dalam
geguritan ini tidak begitu banyak mengalami penyimpangan. Hal ini dapat
dikatakan sebagai sebuah variasi dalam upaya menjaga keutuhan narasi.
Daftar
Pustaka
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 1995. Alih Aksara
Lontar : Geguritan Cangak. Denpasar : Kantor Dokumentasi Budaya Bali.
Matthews, P.H. 1974.
Morphology : An Introduction to The Theory of Word Structure. London: Cambridge
University Press.
Ramlan, Prof. Drs. M.
1985. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriftif. Yogyakarta : CV. Karyono.
Simpen, I Wayan. 2009.
Morfologi : Sebuah Pengantar Ringkas. Denpasar : Udayana University Press.