Senin, 08 Desember 2014

PROSES MORFOFONEMIK
DALAM PEMENUHAN PADA LINGSA PADA GEGURITAN CANGAK

Oleh : Luh Yesi Candrika,S.S.

1.      Pendahuluan

Penguasaan bidang sastra adalah tahap kedua atau lapis kedua setelah penguasaan bidang bahasa (linguistik) sebagai dasar. Dalam sastra, bahasa merupakan objek sekaligus sistem tanda yang membangun sebuah teks. Bahasa lisan tidak sama dengan wacana (pada wacana satuan terkecil adalah kalimat, bentuk lisan dapat mengandung wacana). Bentuk lisan suatu bahasa dapat mengandung wacana dalam dirinya, tetapi bukan berarti bahasa dengan sendirinya dapat menjadi sebuah wacana. Memahami sebuah karya sastra, tidak hanya untuk memperoleh nilai atau makna yang terkandung di dalamnya, akan tetapi melihat proses penggunaan bahasa oleh seorang pengarang dalam tataran gramatika bahasa. Morfologi adalah salah satu terori deskriptif ilmu bahasa, yang berkaitan dengan proses pembentukan kata (Matthews, 1974 : 2). Pada atatran morfologi, seorang pengarang menggunakan bahasa sebagai objek karya sastra yang diabstrasikan dalam bentuk morfem maupun kata. Menurut Simpen, pada dasarnya prinsip kerja morfologi adalah menyusun morfem-morfem menjadi kata, atau menguraikan kata menjadi morfem (2009 : 4).
            Sisi Humaniora sebuah teks sangat kuat, yakni bersifat subyektif. Sejauh ini pengkajian sastra yang mampu menyampaikan kebenaran-kebenaran melalui bantuan analisis bahasa dalam bentuk morfem ataupun kata sangatlah kurang. Sejatinya, batasan-batasan dalam pengkajian sastra melalui pemaparan ciri-ciri linguistik mengarahkan hasil penelitian sastra yang lebih objektif. Tantangan yang dihadapi dalam analisis wacana, yakni perkembangan wacana yang selalu dinamis, akan terus-menerus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kemungkinan sebuah teks akan menimbulkan multitafsir sangatlah besar. Menghadapi sebuah teks berkaitan dengan bentuk dan makna. Hal ini sesuai dengan prinsip linguistik yang diungkapkan oleh Ferdinand de Saussure, yakni signifie (penanda) – significant (petanda). Membaca sebuah teks sastra merupakan membaca tanda-tanda bahasa yang akhirnya menuntun pada makna sebuah karya. Pemerolehan makna (nilai) dari sebuah karya, melalui proses dan langkah-langkah yang perlu dilakukan.
            Kritik karya sastra akan menjadi lebih objektif dengan cara mendeskripsikan struktur makro dan mikro. Struktur mikro berkaitan dengan ko-teks (yang ada di dalam teks). Ko-teks terdiri dari, Gramatik, Semantik, Sintaktik, Retorik, dan Stilistik. Sementara itu struktur makro (konteks), merupakan hal-hal yang berada di luar teks, diantaranya Tematik (judul), Skematik (epilog), Generik (tujuan umum), dan Spesifik (tujuan khusus). Upaya penyeimbangan anatara struktur mikro dan makro dalam analisis karya sangat jarang ditemukan. Fokus seorang peneliti secara umum, bertitik tolak pada salah satu unsur saja. Pada hakekatnya sastra tidak dapat dilepaskan dari peran bahasa, karena bahasa adalah objek sastra. Upaya apresiasi sastra, merupakan upaya pemerolehan makna dari hakikat suatu karya. Makna tersebut hadir dari gabungan kata, frasa, maupun kalimat yang meupakan suatu kesatuan pembangun karya sastra. Makna yang utuh dalam karya sastra, diperoleh dari pertalian anatara pesan yang satu dengan pesan lainnya. Yang ditentukan oleh kohesi (leksikal-gramatikal) dan koherensi teks. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian sastra tidak hanya berfokus pada makna (nilai) suatu karya, akan tetapi pengungkapan ideologi dari sebuah teks sangatlah penting dalam memberikan gambaran mengenai suatu masyarakat dan peradabannya.
Upaya mengubah bentuk sebuah teks menjadi karya sastra lisan merupakan salah satu kegiatan apresiasi sastra. Seperti halnya mentransforfasi bentuk karya sastra, yaitu sebuah cerita lisan (Satua) ke dalam bentuk sastra Geguritan, sehingga dapat ditembangkan atau dilgukan. Geguritan menjadi salah satu karya sastra yang menarik dalam hal kepengarangan, yang terkait dengan penggunaan bahasa, pemaikaian aturan penulisan pada lingsa dan pengungkapan pesan dalam teks yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang. Sebagai puisi Bali tradisional, karya sastra ini tidak hanya mengandung banyak hal, diantaranya tutur, berbentuk narasi, dll pada dasarnya diikat oleh aturan pada lingsa (yang terdiri dari suara pematut/ bunyi vocal dan Lingga Suara/ jumlah suku kata dlaam tiap baris). Hal ini tidaklah mudah dalam proses kepengarangannya. Tidak hanya memperhitungkan ketepatan atuaran pada lingsa, tetapi pengarang juga harus memperhatikan jalinan cerita yang ada dilamnya agar kontekstual, walaupun dalam upaya pemenuhan pada lingsa.
Geguritan Cangak adalah karya sastra yang merupakan transformasi dari sebuah cerita Tantri, yang kemudian dituliskan dalam bentuk geguritan, dan pada akhirnya kembali dilisankan (ditembangkan atau dilagukan) sesuai dengan fungsinya. Gaguritan ini berbentuk narasi yang sesuai dengan keberadaan cerita lisan tersebut. Karya sastra ini terbangun oleh pupuh-pupuh, diantaranya Pupuh Ginada (27 bait), Sinom (7 bait), dan Pangkur (8 bait). Teks geguritan yang menggunakan bahasa Kawi-Bali ini nampak sederhana, akan tetapi sarat akan nilai-nilai filosofis dan mencerminkan ideologi masyarakat. Dalam mengungkapkan suatu sifat buruk manusia yang licik, dianalogikan dengan se-ekor burung Bangau ‘Cangak’. Penyamaran burung Bangau menjadi seorang Pendeta yang lengkap dengan atributnya, menjadi suatu tanda yang tidak dapat dilewatkan begitu saja. Hal ini juga terkait dengan kehidupan masyarakat Bali dalam kepercayaan dan kebudayaan.
            Cerita ini diawali dari keinginan I Cangak ‘burung bangau’ untuk memakan ikan-ikan yang ada di telaga. Burung tersebut menggunakan tipu muslihat dengan menyamar sebagai seorang Pendeta untuk memperdayai para ikan. Nita jahat dan perilaku licik tersebut, membuat banyak ikan telah mati dan dimakannya. Sampai pada akhirnya muncullah tokoh Yuyu ‘kepiting’ yang tidak mudah untuk diperdaya. Pada akhirnya, kecurigaan Yuyu terhadap Cangak terbukti. Ikan-ikan yang ada di tlaga tersebut semuanya mati. Pada akhirnya giliran Yuyu yang diselamtkan. Saat akan dipindahkan, Yuyu melihat tulang-tulang semua saudara-saudaranya, kemudian dicapitlah leher I Cangak hingga ia mati. Hal itulah yang membuat Cangak harus menerima hasil perbuatannya.
            Dipilihnya binatang sebagai tokoh dalam cerita yang mewakilkan atau merepresentasikan masyarakat budaya, merupakan hal menarik yang patut diapresiasi sebagai unsur estetisnya. Karya sastra yang memiliki nilai estetis, yakni mengacu pada trilogi baik-benar-indah. Hal ini mengarahkan pada pengertian sastra sebagai penuntun masyarakat. Keindahan suatu karya (nilai estetika) terkait dengan penggunaan bahasa. Pengungkapan estetika suatu karya, haruslah didasarkan pada sudut pandang karya tersebut sebagai sebuah hasil karya seni. Seni yang dimaksudkan dalam proses penciptaan karya sastra terletak pada kekuatan bahasa. Dalam karya sastra Geguritan Cangak dilihat dari beberapa sudut pandang permasalahan yang akan dibahas, yakni mengenai penggunaan bahasa dari segi gramatika, yakni penggunaan morfofonemik dalam mempengaruhi pada lingsa. Sejauh ini, pengkajian sastra yang mampu menyampaikan kebenaran-kebenaran melalui bantuan analisis bahasa dalam bentuk sangatlah kurang. Sejatinya, batasan-batasan dalam pengkajian sastra melalui pemaparan ciri-ciri linguistik mengarahkan hasil penelitian sastra yang lebih objektif.






2.      Analisis Proses Morfologis dalam Geguritan Cangak

A.    Afiksasi
Prefiks
Infiks
Sufiks
Simulfiks
a - bedik
e - juk
ka – takil
ka - swen
ka- sengkala
ka- temu
ka- liwat
ka - kapit
ke - nem
ma- ring          
ma - jujuk
ma - panganggo
ma- genitri
ma- ketu
ma- jujuk
ma- punduh
ma- ngrubug
ma- atur
ma- sabda
ma- piccha
ma- prayascita
ma - diksha
ma- punduh
ma- munyi
ma- mulisah
ma- ngeling
ma- rupa
ma- urip
ma- kesyab
ma- pindah
ma- bulu
ma- jalan
ma- garang
ma- gilir
ma- ngamah
ma - dugdug
ma- gantung
ma- matbat
nir- guna
N - rengreng
pa- boreh
pa- ubad
sa - dina


(-um-) - atur
jujug - (-um-)
samba - (-in-)  

bunga - n
bapa- ne
cai- ne
daya - ne
dhanu - ne
ganti - nne
keber - ang
kasep – an
kandika - in
leket - e
menek - an
malu - nin
ngiring - ang
satwa- nnya
sisya - n
sakancan - ing
semeng - an
suba - ne
tulung - in
tuna - in
tongos – e
tulang - nyane
tongos - ne     
upaya- ang
urip - ang
wacana - n
yeh - na

a - cepok –an
e - yeh - nyane
di - telaga - ne
ka - engkeb – ang
ka - payas - in
ka - gelek - ang
ka - dharma - n
ka - rusak - an
ka - bakat - ang
ka - takut - an
ka - tinggal - in
ka - gilir -ang
ka - ejoh - ang
ka - pindah - ang
ka - enggal - in
ka - gisi - ang
ka - akes - ang
ka - enggal - in
ka- keneh - ang
ka - crita -yang
ma- pineh -in
ma - uleh - an
ma - nguyak - in
ma - dingeh - ang
N - juk – in
N - rasa -yang
N - arep - ang
N - anut - in
pa - semeng - an
pa - semeng - an
pa - semeng - an
sa - idup - an


Keterangan :
Pada teks Geguritan Cangak, penggunaan afiks (prefiks) lebih mendominasi dari proses afiksasi lainnya. Kata-kata yang melekat pada afiks tersebut lebih banyak kata kerja (verb) terutama pada prefiks (ma-), dan juga ada beberapa kata sifat (Adjektive) serta kata benda (Nomina). Serta yang paling sedikit penggunaannya, yakni infiks (sisipan). Afiksasi dalam proses kepengarangan, terutama pupuh mempengaruhi pada lingsa (aturan) yang terdiri dari Suara Pematut (SP) dan Lingga Suara (LS). Penambahasn satu buah morfem saja, ternyata mempengaruhi jumlah Lingga Suara (LS), misalnya contoh:
-          Jalan ke Tlaga (5a)
Majalan ka Tlaga (6a)


B.     Reduplikasi (Perulangan)

1. Perulangan Seluruh
Perulangan seluruh, ialah perulangan segala bentuk dasarnya, tanpa perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks (Ramlan, 1985 : 62), diantaranya :
-          Kadi-kadi
-          Kenyir-kenyir
-          Kesyab-kesyab
-          Mapi-mapi
-          Megat-megat

2.      Perluangan Sebagian
Perulangan sebagian adalah perulangan sebagian dari bentuk dasarnya (Ramlan, 1985 : 63), diantaranya :
-          Mabetabet
-          Makelo-kelo

3.      Perulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan Afiks.
Dalam golongan ini, bentuk dasar diulang seluruhnya dan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, maksudnya pengulangan itu terjadi bersama-sama pula dalam mendukung satu fungsi (Ramlan, 1985 : 66), diantaranya :
-          Manting- anting          (ma- anting-anting)
-          Mamati-mati                (ma- mati-mati)
-          Dasdasan                     (das-das-an)
-          Ngame-ame                 (N-ame-ame)
-          Pules-pulesan              (pules-pules-an)
-          Imba-imbayang           (imba-imba-ang)

4.      Prakategorial
-          Kaah-kaah
-          Kelik-kelik
-          Slegak-slegak
Keterangan :
Proses Reduplikasi yang terdapat di dalam teks sebagian besar sebagai pengungkapan ekspresi kepengarangan tentang sebuah situasi atau kondisi. Seperti kata kenyir-kenyir, kesyab-kesyab, dan yang lainnya. Penempatan perulangan kata ini berfungsi menegaskan maksud.

C.    MORFOFONEMIK
           Proses morfofonemik disebut juga proses morfofonologi. Di sini terlihat adanya pertemuan morfem dengan morfem, yang menyebabkan terjadinya perubahan fonem (Simpen, 2009 : 43), diantaranya :

1.      Proses perubahan wujud bunyi
-          ma(N) + tutur + ang    (manuturang)
-          ma + (t)nunas + ang    (manunasang)
-          ma + (p)maksa (mamaksa)
-          ma(N) + sambung + in (manyambungin)
-          ma + (t)nulung            (manulung)
-          ma(n) + sesek + in       (manyesekin)
-          ma+ (m)pineh + in       (maminehin)
-          ma + (m) putih            (mamutih)
-          ma + (m)pedas + ang  (mamedasang)
-          ma + (ny)cihna + ang  (manyihnaang)
-          ma + (ny)selsel + ang (manyelsel)
-          ma+(P) isadhu             (misadhu)
-          tawur + in                    (nawurin)




2.      Proses Hilangnya Bunyi
-          ma +pikolih + ang       (mikolihang)
-          tengah +ing                  (tengahing)
-          ma + pisadu                  (misadu)
-          ma +abet                       (mabet)
-          ma + adan                     (madan)
-          cerita + an                     (critan)
-          N +keneh+ ang             (ngenehang)


3.     Proses Morfofonemik Dalam Pemenuhan Pada Lingsa
             Karya sastra geguritan terbangun oleh pupuh-pupuh yang menjadi suatu kesatuan teks. Pupuh-pupuh tersebut, masing-masing memiliki aturan ‘pada lingsa’ yang menjadi ciri pembeda antara pupuh yang satu dengan yang lainnya. Pupuh diikat oleh atuaran dalam proses kepengarangannya, yang disebut dengan pada lingsa ‘aturan suara yang padu’. Dalam proses kepengarangannya, pengarang tidak hanya focus pada pemilihan kata (diksi), serta menjaga keutuhan cerita saja. Seornag pengarang sastra geguritan, harus faham dengan aturan tersebut, dan sejauh mana terjadi kemungkinan penyimpangan-penyimpangan dalam karyanya. Penyimpangan-penyimpangan aturan pupuh, jika terjadi dalam kemungkinan kecil hal ini masih dapat diterima. Akan tetapi, apabila sangat menyimpang dari aturan yang sudah disepakati, maka pupuh tersebut harus mendapatkan perlakuan yang berbeda, yakni menempatkan pupuh tersebut sebagai suatu kesalahan aturan atau pengarang memfokuskan diri pada narasi.
          Geguritan Cangak merupakan sebuah transformasi karya sastra, dari bentuk satua (Tantri) menjadi bentuk sastra tembang (yang dilagukan). Hal ini tentu menjadi perhatian dalam analisis karya. Satua yang berbentuk narasi harus tetap menjaga keutuhan cerita, akan tetapi ketika berhadapan dengan bentuknya yang menjadi geguritan yang terbangun oleh pupuh-pupuh, maka aturan pada lingsa menjadi tantangan dalam proses kepengarangannya. Geguritan ini terbangun oleh tiga pupuh, yakni Ginada, Sinom, dan Pangkur. Pupuh Ginada (27 bait), Sinom (7 bait), dan Pangkur (8 bait).

          Salah satu proses morfologis yang menjadi perhatian dalam hal ini, yakni morfofonemik. Penambahan bunyi, penghilangan bunyi, serta datangnya bunyi sesungguhnya hal ini paling mempengaruhi proses pemenuhan pada lingsa saat membangun sebuah pupuh. Satu buah morfem yang berubah, maka menyebabkan perubahan Ling Suara yang merupakan salah satu aturan dalam pada lingsa. Berikut salah satu contoh dalam menentukan pada lingsa pupuh.

Pupuh Ginada (Geguritan Cangak) :
-          Bapa jani manuturang                (8a)
-          Apang cening jwa minehin        (8i)
-          Satwannya ya I Sang Cangak  (8a)
-          Ngeka daya mapisadhu             (8u)
-          Momonnyane kaengkebang      (8a)
-          Gampil katakil                          (5i)
-          Apang siddha mikolihang        (8a)

Keterangan :
        Apabila diamati secara cermat mengenai proses perubahan wujud bunyi, kata [jwa] pada baris kedua sengaja dipilih untuk memenuhi pada lingsa. Pada bahasa Bali kata [jwa] tersebut seharusnya dituliskan [jua], yang artinya juga. Kata [jwa] terdiri dari satu Lingga Suara, akan tetapi [jua] terdiri dari dua Lingga Suara. Dengan demikian, jika kata [jua] yang dipilih, maka pada lingsa pada baris ke Sembilan akan menjadi (9i). Demikian pula bahwa kemungkinan ini berlaku sama pada kata [satwannya] pada baris ketiga. Aturan lumrah pada Pupuh Gina seharusnya (8a, 8i, 8a, 8u, 8a, 4i, 8a)

Pupuh Sinom (Geguritan Cangak) :
-          Yan kudang dina kapo I Cangak (10a)
-          Nyalanang daya ane culig             (9i)
-          Mabet-abet tuara mangsa              (8a)
-          Yadin ada manguyakin                 (8i)
-          Bene iya sayan bani                       (8i)
-          Mapunduh ya tur mangrubung    (8u)
-          Ada bani manetesang                  (8a)
-          Maatur manunas sisip                  (8i)
-          Aksama ratu                                 (4u)
-          Tityang mangkin manunasng       (8a)

Keterangan :
        Berdasarkan proses datangnya bunyi, kata [ane] digunakan oleh pengarang secara tidak konsisten pada pupuh yang lainnya. Untuk memenuhi Lingga Suara pada baris kedua tersebut, pengarang bisa saja menggunakan kata [ne] dalam bahasa Bali, karena maknanya sama tentang menunjuk suatu hal. Penambahan bunyi /a/ pada kata tersebut, membuat Lingga Suara pada baris kedua mengalami penyimpangan. Demikian pula dengan kata [maatur]. Dalam persandian bahasa Bali, ketika prefiks (ma-) bertemu dengan kata yang diawali bunyi vocal /a/ maka seharusnya mengalami proses persandian, yang membuat bunyi /a/ yang satu menjadi luluh. Akan tetapi tidak demikian dengan teks di atas. Pengarang membiarkan proses tersebut dan tidak melakukan proses persandian. Hal ini terkait dengan pemenuhan proses pada lingsa. Karena apabila kata [maatur] dirubah menjadi [matur], maka pada lingsa pada baris ke delapan menjadi (7i). aturan yang lumrah dalam Pupuh Sinom, yakni (8a, 8i, 8a, 8i, 8i, 8u, 8a, 8i, 4u, 8a)

4.      Simpulan
        Geguritan Cangak terbangun oleh pupuh-pupuh yang diikat oleh aturan (pada lingsa). Dalam kepengarangan, proses-proses morfologis sangat mempengaruhi ketepatan aturan tersebut (pada lingsa), yang terdiri dari Lingga Suara (LS) dan Suara Pematut (SP). Karya sastra ini telah dianalisis berdasarkan proses-proses morfologis yang membangun teksnya. Utamanya pada proses morfofonemik yang memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap ketepatan aturan tersebut. Diantaranya terjadi perubahan bunyi, penambahan bunyi, maupun penghilangan bunyi mempengaruhi ketepatan pada lingsa tersebut. pada akhirnya, pupuh-pupuh dalam geguritan ini tidak begitu banyak mengalami penyimpangan. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah variasi dalam upaya menjaga keutuhan narasi.


Daftar Pustaka

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 1995. Alih Aksara Lontar : Geguritan Cangak. Denpasar : Kantor Dokumentasi Budaya Bali.
Matthews, P.H. 1974. Morphology : An Introduction to The Theory of Word Structure. London: Cambridge University Press.
Ramlan, Prof. Drs. M. 1985. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriftif. Yogyakarta : CV. Karyono.

Simpen, I Wayan. 2009. Morfologi : Sebuah Pengantar Ringkas. Denpasar : Udayana University Press.