Senin, 08 Desember 2014

Nasib Bahasa Bali ditangan Penuturnya
oleh : Luh Yesi Candrika


Bahasa merupakan cermin pribadi diri. Ungkapan ini sering kali didengungkan bagi setiap penutur bahasa. Bahasa mampu mewakili apa yang ada di pikiran dan disampaikan pada lawan bicara melalui untaian kata. Sikap dan perilaku seseorang dapat dilihat dari tutur kata yang dikeluarkan dan cara bicara seseorang. Berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peranan penuturnya dalam menjaga eksistensi bahasa tersebut. Bali sebagai suatu wilayah yang homogen, merupakan tempat berkembangnya setiap bahasa yang digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Masyarakat yang tinggal di Bali saling berinteraksi dengan bahasa yang mereka gunakan masing-masing, serta dengan identitas masing-masing. Seiring dengan hal tersebut, eksistensi dari bahasa lokal di setiap daerah di Nusantara, termasuk Bali patut untuk senantiasa dipertahankan. Arus Globalisasi seharusnya tidak menggerus nilai-nilai kearifan lokal yang ada di suatu wilayah. Bahasa Bali merupakan salah satu kearifan lokal yang seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih, karena bahasa Bali adalah bahasa ibu ‘native language’ di Bali.
Bahasa daerah, seperti bahasa Bali merupakan ciri khas atau identitas dari budaya Bali yang tetap harus dipertahankan keberadaannya dengan jalan menggunakannya secara terus menerus oleh penuturnya sehingga tidak menjadi bahasa mati. Suatu bahasa yang dikatakan ‘bahasa mati’, apabila bahasa tersebut ditinggalkan, atau tidak lagi digunakan untuk berkomunikasi oleh penuturnya. Hal inilah yang patut untuk diwaspadai. Dalam tujuh unsur kebudayaan universal, bahasa menempati rangking pertama. Dengan demikian, patut untuk disadari bahwa apabila bahasa Bali tidak lagi digunakan oleh penuturnya, maka budaya Balipun akan tenggelam. Untuk memahami suatu kebudayaan maka hal utama yang harus dilakukan adalah memahami dan mengatahui bahasanya. Demikian halnya dengan budaya Bali yang akan lebih mudah untuk diketahui dan dipelajari melalui bahasa Bali. Ini menunjukkan begitu pentingnya peran bahasa Bali dalam menjaga pilar kebudayaan Bali. Selain itu, dalam bahasa mengandung nilai-nlai kebudayaan Bali yang adiluhung.
 Fenomena yang terjadi di masyarakat mengenai bahasa Bali sedang marak terjadi. Termasuk isu yang berkembang belakangan ini, yakni mengenai penggabungan pelajaran bahasa daerah ke dalam pelajaran Seni Budaya. Tentunya hal ini harus dikaji ulang terlebih dahulu dengan lebih cermat dan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dapat dikatakan demikian, karena apabila kita cermati bersama, ketika mata pelajaran bahasa Bali tersebut digabungkan, maka waktu yang diberikan mengenai bahasa Bali akan semakin terpangkas. Hal ini menyebabkan peserta didik kurang maksimal dalam mempelajari bahasa Bali. Selain peranan orang tua sebagai pendukung utama dalam pelestarian bahasa Bali sejak dini, peranan institusi pendidikan sangatlah penting dan memegang kendali utama. Upaya pemerintah, khususnya kota Denpasar memang gencar dilakukan, misalnya hari wajib setiap jumat untuk menggunakan bahasa Bali di seluruh sekolah yang ada di kota Denpasar. Akan tetapi, program ini masih kurang maksimal dalam penerapannya. Upaya lainnya yang dilakukan pemerintah, yakni membiasakan lingkungan menggunakan bahasa Bali, serta aksara Bali. Misalnya pada setiap ruas jalan, sudut-sudut sekolah, tempat umum seperti di kawasan pertokoan yang ada di Jalan Gajah Mada, Denpasar. Dengan demikian masyarakat terbiasa dengan bahasa maupun aksara Bali. Serta tidak merasa jauh, bahkan asing dengan bahasa ibunya sendiri. Akan tetapi, penggunaannya juga masih kurang maksimal karena hanya berpusat pada tempat-tempat tertentu saja.
Apabila mengikuti perkembangan dan tantangan zaman memang tidak dapat disalahkan jika anak-anak sekarang gencar untuk mempelajari bahasa asing. Hal itu memang perlu dilakukan, sebagai pelangkap agar tetap dapat mengikuti perubahan, sehingga tidak jauh terbelakang dan ketinggalan informasi dalam kancah persaingan global. Menyikapi fenomena sekarang, yaitu generasi muda Bali yang tidak banyak menggunakan bahasa Bali dalam kesehariannya maupun pergaulannya merupakan suatu kenyataan yang tidak terelakkan. Penggunaan bahasa Bali yang semakin jarang, lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan. Berdasarkan atas pengamatan pada siswa-siswa dari tingkat pendidikan SD hingga SMA yang tinggal di wilayah perkotaan, mereka mengakui bahwa bukan tidak mau menggunakan bahasa Bali. Akan tetapi, merasa kesulitan dalam penggunaan Anggah-Ungguhin basa Bali. Hal ini memanglah suatu realitas yang tidak dapat dielakkan. Pada kenyataannya, bahasa Bali memang memiliki Anggah-Ungguhin basa Bali yang fungsinya justru harus diketahui terlebih dahulu, sehingga kecintaan untuk menggunakan bahasa tersebut akan tumbuh. Sebagai masyarakat Bali kita justru hendaknya harus berbangga dengan keberadaan Anggah-Ungguhin basa Bali yang merupakan ciri khas atau identitas suatu wilayah yang tidak banyak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Nusantara, bahkan di dunia. Dengan demikian, tidak berlebihan jika menempatkan bahasa Bali dalam stana yang agung atau tinggi.
Adanya Anggah-Ungguhin basa Bali ini sejatinya difungsikan untuk ‘rasa basa’ ata tata krama dalam berbahasa. Pada hakekatnya, seseorang yang menggunakan Anggah-Ungguhin bahasa saat berbicara, maka orang tersebut bermaksud menghargai bahkan menghormati lawan bicaranya. Penggunaan Anggah-Ungguhin basa Bali ini amat terkait dengan lawan bicara, sehingga penggunaannya menjadi tepat. Akan tetapi, para siswa mengalami kesulitan dalam penggunaan Anggah-Ungguh basa tersebut, yang terdiri dari Alus Singgih, Alus Madya, Alus Sor, Alis Mider, Mider, Kepara dan Kasar. Kunci utama dalam memecahkan permasalahan ini, yakni terletak pada peran seorang guru bahasa Bali. Yang harus diperhatikan adalah mengenai metode penyampaiannya. Memasuki era globalisasi seperti sekarang, dengan kemajuan IPTEK yang begitu pesat, membawa dampak pada perubahan pola pikir bahkan perilaku siswa. Oleh karena itu, kebanyakan siswa sekarang lebih menginginkan metode yang baru dan menyenangkan. Apabila siswa senang mempelajari bahasa Bali, maka siswa akan mencoba untuk mempelajari dan memahami. Hingga pada akhirnya iapun mau untuk menggunakan bahasa Bali. Selain penyampaian materi, siswa juga hendaknya diberikan pemahaman akan  nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Perlu adanya kesadaran dalam diri generasi muda, bahwa merekalah yang mengemban tugas untuk tetap menjaga eksistensi bahasa Bali. Dengan tegas kita dapat menyuarakan, keperdulian kita dan menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bahasa Bali. Jika saja bahasa Bali menjadi bahasa mati, maka bersiaplah kebudayaan Bali akan runtuh. Suatu kebudayaan tidak akan memiliki identitas yang kuat, apabila bahasa yang mendukungnya telah punah. Sebagai generasi-generasi muda penyelamat zaman, hendaknya sadar akan hal tersebut dan tidak membiarkan bahasa Bali menjadi ‘bahasa mati’. Senangi bahasa Bali, kemudian  pelajari dan pahami, lalu pergunakan, sehingga dengan demikian hal ini adalah salah satu gerakan konkrit (nyata) guna menyelamatkan kebudayaan Bali.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar