Nasib Bahasa Bali ditangan
Penuturnya
oleh : Luh Yesi Candrika
Bahasa
merupakan cermin pribadi diri. Ungkapan ini sering kali didengungkan bagi
setiap penutur bahasa. Bahasa mampu mewakili apa yang ada di pikiran dan disampaikan
pada lawan bicara melalui untaian kata. Sikap dan perilaku seseorang dapat
dilihat dari tutur kata yang dikeluarkan dan cara bicara seseorang. Berbicara
mengenai bahasa, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peranan penuturnya dalam
menjaga eksistensi bahasa tersebut. Bali sebagai suatu wilayah yang homogen,
merupakan tempat berkembangnya setiap bahasa yang digunakan oleh berbagai
lapisan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Masyarakat yang tinggal di Bali
saling berinteraksi dengan bahasa yang mereka gunakan masing-masing, serta dengan
identitas masing-masing. Seiring dengan hal tersebut, eksistensi dari bahasa
lokal di setiap daerah di Nusantara, termasuk Bali patut untuk senantiasa
dipertahankan. Arus Globalisasi seharusnya tidak menggerus nilai-nilai kearifan
lokal yang ada di suatu wilayah. Bahasa Bali merupakan salah satu kearifan
lokal yang seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih, karena bahasa Bali
adalah bahasa ibu ‘native language’ di Bali.
Bahasa
daerah, seperti bahasa Bali merupakan ciri khas atau identitas dari budaya Bali
yang tetap harus dipertahankan keberadaannya dengan jalan menggunakannya secara
terus menerus oleh penuturnya sehingga tidak menjadi bahasa mati. Suatu bahasa
yang dikatakan ‘bahasa mati’, apabila bahasa tersebut ditinggalkan, atau tidak
lagi digunakan untuk berkomunikasi oleh penuturnya. Hal inilah yang patut untuk
diwaspadai. Dalam tujuh unsur kebudayaan universal, bahasa menempati rangking
pertama. Dengan demikian, patut untuk disadari bahwa apabila bahasa Bali tidak
lagi digunakan oleh penuturnya, maka budaya Balipun akan tenggelam. Untuk
memahami suatu kebudayaan maka hal utama yang harus dilakukan adalah memahami
dan mengatahui bahasanya. Demikian halnya dengan budaya Bali yang akan lebih
mudah untuk diketahui dan dipelajari melalui bahasa Bali. Ini menunjukkan
begitu pentingnya peran bahasa Bali dalam menjaga pilar kebudayaan Bali. Selain
itu, dalam bahasa mengandung nilai-nlai kebudayaan Bali yang adiluhung.
Fenomena yang terjadi di masyarakat mengenai
bahasa Bali sedang marak terjadi. Termasuk isu yang berkembang belakangan ini,
yakni mengenai penggabungan pelajaran bahasa daerah ke dalam pelajaran Seni
Budaya. Tentunya hal ini harus dikaji ulang terlebih dahulu dengan lebih cermat
dan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dapat dikatakan demikian, karena
apabila kita cermati bersama, ketika mata pelajaran bahasa Bali tersebut
digabungkan, maka waktu yang diberikan mengenai bahasa Bali akan semakin
terpangkas. Hal ini menyebabkan peserta didik kurang maksimal dalam mempelajari
bahasa Bali. Selain peranan orang tua sebagai pendukung utama dalam pelestarian
bahasa Bali sejak dini, peranan institusi pendidikan sangatlah penting dan
memegang kendali utama. Upaya pemerintah, khususnya kota Denpasar memang gencar
dilakukan, misalnya hari wajib setiap jumat untuk menggunakan bahasa Bali di
seluruh sekolah yang ada di kota Denpasar. Akan tetapi, program ini masih
kurang maksimal dalam penerapannya. Upaya lainnya yang dilakukan pemerintah,
yakni membiasakan lingkungan menggunakan bahasa Bali, serta aksara Bali.
Misalnya pada setiap ruas jalan, sudut-sudut sekolah, tempat umum seperti di
kawasan pertokoan yang ada di Jalan Gajah Mada, Denpasar. Dengan demikian
masyarakat terbiasa dengan bahasa maupun aksara Bali. Serta tidak merasa jauh,
bahkan asing dengan bahasa ibunya sendiri. Akan tetapi, penggunaannya juga
masih kurang maksimal karena hanya berpusat pada tempat-tempat tertentu saja.
Apabila
mengikuti perkembangan dan tantangan zaman memang tidak dapat disalahkan jika
anak-anak sekarang gencar untuk mempelajari bahasa asing. Hal itu memang perlu
dilakukan, sebagai pelangkap agar tetap dapat mengikuti perubahan, sehingga
tidak jauh terbelakang dan ketinggalan informasi dalam kancah persaingan
global. Menyikapi fenomena sekarang, yaitu generasi muda Bali yang tidak banyak
menggunakan bahasa Bali dalam kesehariannya maupun pergaulannya merupakan suatu
kenyataan yang tidak terelakkan. Penggunaan bahasa Bali yang semakin jarang,
lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan. Berdasarkan atas pengamatan pada
siswa-siswa dari tingkat pendidikan SD hingga SMA yang tinggal di wilayah
perkotaan, mereka mengakui bahwa bukan tidak mau menggunakan bahasa Bali. Akan
tetapi, merasa kesulitan dalam penggunaan Anggah-Ungguhin basa Bali. Hal ini
memanglah suatu realitas yang tidak dapat dielakkan. Pada kenyataannya, bahasa
Bali memang memiliki Anggah-Ungguhin basa Bali yang fungsinya justru harus
diketahui terlebih dahulu, sehingga kecintaan untuk menggunakan bahasa tersebut
akan tumbuh. Sebagai masyarakat Bali kita justru hendaknya harus berbangga dengan
keberadaan Anggah-Ungguhin basa Bali yang merupakan ciri khas atau identitas suatu
wilayah yang tidak banyak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Nusantara, bahkan
di dunia. Dengan demikian, tidak berlebihan jika menempatkan bahasa Bali dalam
stana yang agung atau tinggi.
Adanya
Anggah-Ungguhin basa Bali ini sejatinya difungsikan untuk ‘rasa basa’ ata tata krama
dalam berbahasa. Pada hakekatnya, seseorang yang menggunakan Anggah-Ungguhin
bahasa saat berbicara, maka orang tersebut bermaksud menghargai bahkan
menghormati lawan bicaranya. Penggunaan Anggah-Ungguhin basa Bali ini amat
terkait dengan lawan bicara, sehingga penggunaannya menjadi tepat. Akan tetapi,
para siswa mengalami kesulitan dalam penggunaan Anggah-Ungguh basa tersebut,
yang terdiri dari Alus Singgih, Alus Madya, Alus Sor, Alis Mider, Mider, Kepara
dan Kasar. Kunci utama dalam memecahkan permasalahan ini, yakni terletak pada peran
seorang guru bahasa Bali. Yang harus diperhatikan adalah mengenai metode
penyampaiannya. Memasuki era globalisasi seperti sekarang, dengan kemajuan
IPTEK yang begitu pesat, membawa dampak pada perubahan pola pikir bahkan
perilaku siswa. Oleh karena itu, kebanyakan siswa sekarang lebih menginginkan
metode yang baru dan menyenangkan. Apabila siswa senang mempelajari bahasa
Bali, maka siswa akan mencoba untuk mempelajari dan memahami. Hingga pada
akhirnya iapun mau untuk menggunakan bahasa Bali. Selain penyampaian materi,
siswa juga hendaknya diberikan pemahaman akan
nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Perlu
adanya kesadaran dalam diri generasi muda, bahwa merekalah yang mengemban tugas
untuk tetap menjaga eksistensi bahasa Bali. Dengan tegas kita dapat menyuarakan,
keperdulian kita dan menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bahasa Bali. Jika saja
bahasa Bali menjadi bahasa mati, maka bersiaplah kebudayaan Bali akan runtuh.
Suatu kebudayaan tidak akan memiliki identitas yang kuat, apabila bahasa yang
mendukungnya telah punah. Sebagai generasi-generasi muda penyelamat zaman,
hendaknya sadar akan hal tersebut dan tidak membiarkan bahasa Bali menjadi ‘bahasa
mati’. Senangi bahasa Bali, kemudian
pelajari dan pahami, lalu pergunakan, sehingga dengan demikian hal ini
adalah salah satu gerakan konkrit (nyata) guna menyelamatkan kebudayaan Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar